Minggu, 27 Januari 2013

Cerpen, cerita sumbang Citorek












 
RaJutan TERLarang

Oleh Mulyadi’S
     Banyak kumbang yang hinggap di atas klopak-klopak bunga di kebun keremangan jaman, tanpa dan tidak melihat, putaran waktu yang mengusung keremangan, menuju celah-celah pagar yang ditembus cahaya. Saat cahaya makin terang, keremangan pun sirna, sang waktu telah menetapkan. Membuka tabir kedok keropos dalam kancah perhelatan hidup anak manusia yang menyeringai penuh ambisi durja.
D 

              alam hembusan angin, daun-daun tua jatuh berguguran dan tergantikan tunas-tunas muda. Helai-helai daun tua berserakan kering di bawah teduhnya pepohonan yang rindang. Daun tua sudah jatuh dan sebentar lagi menjadi humus lalu habis dimakan cacing-cacing tanah yang mulai melenggok ke arah lingkaran dedaunan tua di atas tanah basah.
            Cacing betina muda yang terpesona daun tua, kegirangan penuh harap akan adanya kesuburan dari daun tua itu. Apa boleh dikata, daun tua disuka cacing betina muda. Sebaliknya, daun tua yang hinggap di atas tanah basah lembab butuh kehangatan apitan cacing betina muda. Tanpa adanya konsleting aliran moral dan tiada halangan jauhya usia, bahkan tanpa malu pada keriput wajah yang sudah mulai digerogoti usia. Jadilah sebuah skandal dalam lembaga pendidikan “negara”. Cinta tidak pernah memandang status dan kelas sosial bahkan terkadang cinta membuat laki-laki atau perempuan lupa, jika di rumahnya ada yang menantinya. Berharap suami atau istri dan keluarga tercinta segera pulang. 
            Roda waktu dan peradaban selalu menjadi hakim yang paling menentukan. Di awal menjadi singa liar yang haus pada darah. Menyeringai, mengaung dan menerkam pihak-pihak yang tak ia suka. Ada atau tiada sebuah alasan yang patut. Cukup untuk diterkam dan cukup dilumpuhkan. Selanjutnya dibiarkan terkapar. Ini sudah cukup memberi kepuasan bagi batinnya. Mungkin dunia kehidupan alam rimba memberikan sebuah keleluasaan bagi Singa untuk dapat bisa dan dengan amat mudah untuk menjadi raja dari belantara kesumbingan watak dan perilaku menyimpang dari kelaziman hidup yang normal. Kawanan Singa telah menjadi sebuah ambisi penguasa di dalam kehidupan yang penuh ambisi puritan yang latah kaku.
Bukankah kita tidak menafikan? Jika  Singa pun hidup dengan cinta...!? Sang Raja di belantara ini sering kita jadikan sebagai peribahasa dalam percaturan kemuraman dan kebingaran waktu dan kehidupan manusia. Pepatah mengatakan “sekejam-kejamnya Singa atau Macan, masih punya rasa cinta dan kasih sayang untuk anak dan keluarganya”, tapi entah, dengan sebuah pepatah dan peringatan kepada kita, bagaimana watak seekor Buaya?, secara fisik buaya bermulut besar, pendiam, berkulit tebal dan karas, berekor panjang, dan kakinya memiliki kuku-kuku yang tajam, ia mampu meluik-liuk menari di air, ia mampu berlari cepat saat di daratan. Satu hal yang mesti ingat! Sabetan ekor dan gigitan mulut besar buaya sangat membahayakan, bahkan dapat menyebabkan kematian.
            Cukuplah ruang waktu dan rimba belantara sekolah menjadi ajang simulasi Singa yang ingin menjadi raja, berdampingan dengan sang Buaya yang ingin menjadi ratu panutan dalam rimba yang sama, dengan ponggawa-ponggawa lapar yang  selalu siap mendukung dan memuluskan ambisi serakah sang Singa dan sang Buaya.
            Sang Singa yang datang dengan segala ambisinya meraung-raung menggetarkan seluruh ruang. Ia menawarkan segala kemolekan dan janji di atas segala kerancuan akal. Sebagai Maharatu, sang Singa tentu memiliki segala trik dan muslihat guna mencapai segala tujuannya. Ia tiba dengan latar belakang kemampuan lobi menjadi seorang ratu, bukan karena kemampuannya dalam olah intelek, managmen kepemimpinan, tapi lebih tertopang oleh dogma-dogma birokrasi.
            Dengan anggun sang Singa berkuasa di atas singgasana panas dan keemasan yang menawarkan segala peluang pengembangan sayap sebagai sumber rufee. Hebatnya, ia mampu menyatukan segala visinya dengan kawanan buaya penguasa lokal yang lapar dan terkapar. Sang buaya dengan girang menyambut segala peluang yang ditawarkan Sang Singa.
            Sungguh naif! semua peluang dan sumur ladang guna berjalannya roda kerajaan pendidikan dijadikan sebagai lahan ekspolari bisnis yang memberikan keuntungan cukup besar. Hanya dengan mengikuti alur pelaporan dengan segala kefiktifannya dapat mendatangkan segala kucuran rufee. Sumber itu terus mereka kawal dan jaga dengan segala angkaranya. Sumur emas Beqa’s, Leefs’keol, Nada OBS, DipreEi, Sob NasH, AsWi bEa, dan sumber lainnya yang jelas sangat mudah dieksplorasi dengan cara sumbing adalah galian tanah lokal guna memperlebar ruang, dan bahkan ditambah mIbla aeiR. Semua ladang tetap sebagai sumber dalam memunculkan segala ide dan ambisi dalam kemulusan kerja sama sang Singa dan sang Buaya sebagai antek sang ratu.
Dengan segala sumber yang ada, akhirnya makin kuatlah segala ide konspirasi yang mereka bangun. Pepatah mengatakan ”sebuah negara akan menjadi besar dan maju apabila memiliki segala sumber penghidupan”. Tak perlu untuk seluruh rakyatnya, minimal dapat memperkuat para menak, terlebih menak yang berkuasa semisal sang ratu, Sang Singa, dan sang Buaya.
            Masalahnya sekarang, bagaimana dengan kaum yang lemah? Kaum yang netragon, atau bahkan kaum yang protagon pada moral kearifan? Yang dianggap penghalang bagi ambisi sang Singa dan sang Buaya di bawah naungan sang ratu?. Detak jarum jam sebagai saksi dengan semilir angin yang mengabarkan bahwa ada hati yang terberai, jantung dengan segala detak dan degupannya hanya menyimpulkan, jika ada rasa yang memelas ngeri di tengah kebejatan.
”Kaum” itu hanya sebagai penonton dari sebuah persekongkolan dan cuma ingin mempertahankan badan, jiwa dan kedamaian hidup mereka. Bukannya tak ingin untuk mengubah segala kemuraman menjadi kebingaran di atas puncak wibawa, namun apalah daya. Rantai baja mencekik leher dengan kuat, ikat besi panas melilit di kaki.  Nurani dengan kebinarannya hanya memberi senyuman kulum bersama bibir yang bergumam. “Ya Rabb, Tuhan kami…, lindungi kami dari tangan besi sang ratu, dari terkaman Singa, lindungi kami dari kibasan Ekor buaya dan ketajaman gigi dalam mulutnya yang besar dan menganga. Kami hanya ingin menjalani waktu yang telah tahu akan kodrat hidup kami”.
Di sisi ruang lain, dalam kawanan buaya seekor buaya jantan memiliki intrik petualangan yang amat dahsyat. Ia sering beranjak ke darat dan mengubah ujudnya menjadi seekor kumbang yang mampu terbang dan mencari bunga yang mekar lantas mengisap manisnya madu kemolekan bunga.
zzz

F                  atma anak ingusan yang duduk di bangku sekolah kelas IX SMP, wajahnya cantik dan menggoda tiap laki-laki yang melihatnya. Tubuhnya tinggi dempluk kerap kali mengundang decakan kekaguman kaum pria hidung belang, bahkan banyak pria beristri dan sudah beranak pinak yang jadi mabuk kepayang, rela melupakan anak istri demi menikmati indahnya tubuh Elayat. Jika, pria beranak beristri pun, sudah mabuk kepayang. Tentu saja, kaum lajang lebih dari pada itu. Ini dapat dimaklumkan bukan? Karena watak laki-laki memiliki kecendrungan yang angresif pada wanita.
Elayat duduk di atas kursi petugas “Juru Tulis” sambil tersenyum simpul membayangkan apa yang baru saja terjadi sambil bergumam “Oh… pelukanmu membuatku hangat, juluran lidahmu dan lumatan bibirmu…… oh…. tak kusangka”.
            Sehelai kertas yang lusuh tertinggal di atas meja kerja “Juru Tulis” di ruangan yang sepi.
            “Tunggu di sini, saya masuk kelas dulu sebentar, hanya tugas kok!” Elayat membaca tulisan di atas kertas lusuh tadi. Hatinya berdegup dan berbunga.
            “Aku tunggu kau sayang…, pasti!” gumam Elayat. Elayat melihat sekeliling ruangan itu, sepi! Tanpa seorang pun. Semua murid dan sebagian guru sekolah itu sudah pulang sejak pukul 11.30 tadi. Sebagian guru yang masih ada di sekolah tetap asyik di ruang komputer, menarikan mouse, sambil sesekali membuka file Allien Shotter. Tentu saja ruang “Juru Tulis” tempatnya Elayat menunggu jadi aman.
Lama, Elayat menunggu kadatangan sang penulis kertas lusuh tadi. Ia paham, jika Aria Cekih sedang ada jam mengajar di kelas SMU, jam sore. “Aku akan tetap disini sayang, sampai kamu selesai mengajar anak-anak bodoh itu!” gumamnya.   
Nampaknya ia tak sabar, dada dan jantungnya berdegup kencang. Desakan libido makin kuat saat ia meremas-remas kertas lusuh. Hatinya terbang berseliara, membayangkan hal-hal yang bakal terjadi, imajinya dipenuhi dengan segala khayalan romantik, penuh tantangan, dan amat menggoda.
Tzzz

epat pukul 15.00 anak-anak SMU berhamburan  keluar kelas, tanpa peduli di sekelilingnya, mereka langsung meninggalkan sekolah dan sekitarnya, pulang ke rumah. Terlihat Aria Cekih ke luar dari ruangan belajar. Ia berjalan dengan sedikit terburu-buru, seperti ada yang dikejarnya. Ia langsung masuk ke ruangan “juru tulis”, dengan langkah kaki yang kerap dan hampir tak terdengar, namun penuh kehati-hatian. Agar rumput, daun, dan kaca, bahkan tembok tidak curiga. Hingga langkah pun seperti dalam kelunglaian tanpa mampu menerpa debu lantai.
            “Kamu sudah lama menunggu saya?” tanya Aria Cekih sambil memandang ke arah Elayat dengan sorot mata penuh harap dan desakan rasa abstrak.
            “Tentu, sejak tadi aku menunggu bapak, eh.... bukan bapak tapi menunggu kamu!” jawabnya sambil melirik dengan manja seolah menantang.
            Aria Cekih mendengar jawaban Elayat seperti itu tersenyum kulum, sambil menyimpan sebundal absensi anak dan duah buah buku pelajaran di atas meja. Ia langsung duduk di atas kursi di samping lemari  dekat Elayat duduk di atas kursi kayu.
            “Kemarilah, duduk di sini!” ajak Aria Cekih, sambil sedikit menarik tangan Elayat.
            Elayat tak mau menyia-nyiakan ajakan Aria Cekih. Ia langsung menghampiri Aria Cekih yang duduk di atas matras. Elayat sengaja duduk menempel di samping Aria Cekih. Keduanya diam, tanpa sedikit suara, hati keduanya melayang pada tiap sudut bunga dengan deraan nafas yang terengah, dengan deru-deru jantung yang berdegup kencang dan hampir tak ketentuan. Rasa Elayat makin melayang sambil mengusap-ngusap pergelangan tangan Aria Cekih.
            Di tengah desah nafas yang terengah, jantung berdegup kencang, dan keheningan sudut ruangan tepecah suara-suara risik dari mulut yang haus akan kehangatan. Rindu telah membelenggu dan mengajaknya merengkuhkan kaki dan melingkarkan tangan pada seluruh tubuh yang berpusar pada dada yang menjulang, menantang. Wajah keduanya terlihat puas dan lega. Tadi, telah terlepas segala beban yang menghimpit dalam angan dan jantung. Semuanya lancar, mantap, dan penuh sensasi.
             “Hari sudah sore, mari kita pulang!” ajak Aria Cekih sambil bangkit dari duduknya. Dengan pakaian yang kusut dan tubuh sedikit panas hingga cukup mengeluarkan keringat.
            “Oh, ia, sudah sore rupanya, ayo kita pulang saja” cetus Elayat, sambil mengusap-ngusap bibir dengan telapak tangannya, membersihkan bibir, leher, dan dagu yang masih basah. Tangannya yang kiri mengepuk-ngepuk bajunya yang kancingnya masih terlepas tepat di dada. Terbersit dalam pikiran Elayat, “Lain kali lebih baik aku pakai kaos yang setreet dan transparan, supaya lebih mudah……”.
Waktu terus berputar dengan rona-rona insan menuju perhinggapannya, mendekati kegelapan petang. Hari mulai petang dan malam tiba memaksa lembayung sirna diufuk. Lelawa-lelawa mulai hinggap pada tiap cahaya neon di halaman, dalam rumah, dan di jalanan. Malam sedikit sunyi, dengan sedikit siraman rintik hujan, seolah ingin menusukan rasa dingin pada dua hati yang baru saja merasakan “hangat”. Namun, rona detak suara alam seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi tadi siang. Selain menyiratkan sebuah rajutan-rajutan terlarang di atas mahkota dua hati yang terkafar di tengah kemolekan dan kebingaran rasa “hangat”.  
Szzz

                 atu bulan sudah terlewati, dengan roda putaran waktu penuh suara-suara gerih ngeri perangai sumbing dan keangkuhan. Caluk bisu watak durja, dengan rengkuhan dan kenafikan mata batin, tanpa selembar kaca bening hati. Orangtua Elayat percaya, jika tiap hari selepas pulang sekolah Elayat kembali ke sekolah untuk sedikit belajar komputer dengan menarikan mouse di atas meja. Anggap saja semacam kursus atau privat “terpadu”. Namun lain muka lain cermin. Lain belang lain belalang, cinta bersemi di saat-saat jam pelajaran, saat waktu seggang seusai sekolah, memudahkan Elayat untuk berkonsultasi materi-materi eksak yang belum ia pahami. Ya pelajaran sekolah, ya sedikit curhat, ya tentu kursus “pengalaman sensassional” orang dewasa yang paling penting, apalagi pemerintah tidak pernah mambuka lembaga kursus atau pendidikan cinta secara legal. Ini ‘kan sebuah kesempatan emas.
            Aria Cekih seperti biasa menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik yang professional. Di sekolah tempatnya bertugas, ia merupakan sosok yang penuh dedikasi dengan loyalitas tinggi. Ia mengaku mampu membawa sekolah lebih maju tanpa bantuan dari siapapun. Bahkan ia suka beretorika guna memperlihatkan image bahwa ia mampu segala-galanya sekaligus untuk menyembunyikan segala kelemahan dan keringnya moral. Ia profesional dalam soal pekerjaannya sebagai pendidik dan soal rufee. Rufee telah melambungkan namanya. Ia gemar mengkotak-katik rufee di atas administrasi agar bisa mengalir dengan mudah dan dengan sendirinya, akan mengisi koceknya. Cukup lumayan, hingga rekening di BCA dapat dengan mudah terisi, dan selanjutnya, cukup mudah mewujudkan harapan buat membeli secercah cahaya masa depan, juga untuk biaya rengkuhan dan kehangatan Elayat, yang selalu siap melepaskan segala jerat ikatan, himpitan, pelukan, dan  peluh rindu Aria Cekih.
            Bagi Elayat tidak pernah peduli akan anak istri Aria Cekih, yang selalu setia menanti dan menunggu Aria Cekih di rumah. Rumah sebagai tempat Aria Cekih dan keluarga berteduh, berkumpul, dan bercengkrama menumpahkan cinta dan kasih sayang pada istri dan anak tercinta. Sungguh… merupakan saat-saat yang amat indah dan ketakjuban nurani. Namun, Elayat tidak pernah peduli hal itu, bahkan, tak peduli pula baginya, walau dijadikan murid empang ‘X’ yang ketiga oleh Aria Cekih.   
Lzzz

    arut dalam ketakjuban pada diri sendiri, kagum pada lingkungan rumah yang menyanjungnya sebagai anak pertama dari keluarga yang memberinya makan minum dan tempat tidur, Sumirah, akhirnya bertemu dengan angkara yang durja, penuh sengatan tajam serangga-serangga penghisap darah. Sang tuan rumah sebagai bosnya, telah mulai kehilangan kepercayaannya pada Sumirah, sebagai seorang gadis yang dianggap jujur dan santun. Sang bos tersinggung dengan prilaku Sumirah, yang mendukung perselingkuhan Elayat dan Aria Cekih.
Ada kabar dari elusan semilir angin malam hari yang lirih dan lembut, yang mengabarkan pada Komba Jarod, bahwa sekian lama dan telah beribu kali Sumirah selalu berbuat sesuatu yang mengundang decak kagum para hidung belang, menyebar udara panas dan angkara fitnah dengan hembusan kebejatannya. Kenapa tidak? Banyak suami istri yang mengalami “gerhana” rumah tangga  karena gangguan sosok gadis ceking kering, Sumirah.
Nampaknya, Komba Jarod dan istrinya merasa malu dipergunjing banyak orang pada tiap perempatan jalan, tiap kerumunan para ibu, tiap celotehan dan gelak tawa remaja dan kaum pemuda, tiap keriuhan aliran sungai tempat mencuci, pada tiap teras rumah, bahkan pada tiap gang dan jodog yang sepi.
Akhirnya Komba Jarod dan istrinya meminta Sumirah untuk hengkang dari rumahnya. Komba Jarod dan istrinya sudah tidak tahan dengan semua gelagat dan watak Sumirah. Telinga Komba Jarod sudah panas dan terlalu sering memerah. Istri Komba Jarod sudah merasa kehilangan muka dan kehormatan. Popularitas dan wibawanya telah cemar di tengah kegemparan dan kancah prasangka masyarakat sekitarnya. Ia merasa gengsi dengan segala aib yang menimpanya akibat perilaku Sumirah. Ia sadar akan predikatnya sebagai sang buaya betina mesti dipertahankan apapun resikonya.
“Bawa! Semua pakaianmu dari rumah ini! Jangan lagi kau tinggal di rumahku ini! Anak tolol!” istri Komba Jarod memaki Sumirah dengan mata tajam dan penuh geram.
Sumirah hanya celingukan, tidak mengerti bahkan pura-pura tidak mengerti maksud perkataan istri Komba Jarod. Sumirah mengambil pakainnya yang telah terkemas dalam kardus oleh istri Komba Jarod, ia bermaksud hanya pindah ruangan dalam rumah itu. Ia turun ke bawah dari lantai atas rumah, tempatnya kemarin malam tidur dengan selimut kemuraman malam. Ada senyuman bangga dan ambisi pada malam itu, ketika Elayat menginap sambil mengungkapkan rasa di dada pada mahkota cintanya. Malam itu ia bersama kemerduan curhatan Elayat.
Sumirah mengeluarkan semua pakainnya dari dus dan memasukan semuanya satu persatu ke dalam lemari kecil di kamar depan rumah orangtua Komba Jarod yang tinggal satu atap dengan Komba Jarod. Komba Jarod dan istrinya kebingungan, melihat gelagat Sumirah, mereka menyuruh Sumirah untuk keluar dari rumahnya, bukan malah pindah ke tempat mertuanya, bodohnya lagi Sumirah malah mengisi kamar depan milik  adik Komba Jarod yang lagi kosong karena ditinggal sang adik sementara sekolah di luar kota.
Istri Komba Jarod merasa geram dan hati tersengat bara api yang amat panas. Ditengarainya, Komba Jarod punya hubungan “basah” dengan Sumirah gadis pembantu rumahnya. Ia makin berpincak amarah, ia berfikir hal itu bisa saja benar. Banyak budak wanita yang mengandung, menggendong, dan menyusui bayi akibat main basah dengan sang tuan.
Istri Komba Jarod nampaknya cukup paham dengan sorot  mata dan senyum kemanjaan Sumirah pada Komba Jarod. Dengan penuh galau di dada, rasa hampa, jantung berdegup, jiwa serasa terkapar di tengah tatapan matahari yang menyeringai memuncratkan hawa panas. Istri Komba Jarod dengan langkah pasti dan kata-kata tajam menyulap Istana Keangkuhan Sumirah menjadi gadis yang kian telanjang watak perangai aslinya.
Keesokan harinya, Sumirah yang merasa sakit pulang ke rumah orangtunya sambil bergumam “Mengapa Ibu Leti Marsi mesti marah padaku? Bukankah aku jadi diriku saat ini atas petuah dan nasihatnya? Dasar nyonya munafik!”. Sumirah hampir tidak mengerti, dengan sikap Leti Marsi, sampai dengan tega dan kejam mengusirnya. Padahal, telah jelas bagi Sumirah, ia di didik dan beri nasihat segala masalah, mulai dari masalah dapur sampai masalah cinta justru oleh Leti Marsi. Kini, semua itu telah menjadi kenangan bagi Sumirah. Ia pulang ke rumah orangtuanya dengan membawa pribadi yang telah dipulas dan dibentuk oleh Leti Marsi.
            Sumirah merupakan gadis blingsatan, penuh garang jalang! Sebagai seorang gadis yang tinggal dan dibesarkan oleh orang lain sebagai bosnya, tentu pribadinya  merupakan pribadi yang dibentuk dan dipola oleh mereka yang dipertuan oleh Sumirah. Leti Marsi adalah orang yang sangat peduli terhadap Sumirah. Ia yang mengarahkan dan mencoba membentuk pribadi-pribadi yang nantinya diharapkan tunduk pada dirinya sekaligus menjadi sekutu dalam barisannya dalam menghantam orang-orang yang tidak disukai. Bahkan, jika perlu menghantam semua pihak yang dianggap “musuh” sampai ludes. Tentunya, mesti dihantam dari berbagai segi.   
            Leti Marsi dan Sumirah, yang pada awalnya merupakan relasi dalam urusan penebaran “udara panas” dan beracun. Mereka punya hoby yang sama dalam hal ini. Keangkuhan dan kecongkakannya telah menyebabkan banyak hati dan jantung yang melenguh merasa pedih dan gerih. Entah…. untuk kali ini, saat Leti Marsi dan Sumirah gadis blingsatan tak lagi ada dalam satu barisan. Mungkin keduanya masih tetap sebagai penebar “udara panas dan beracun” namun dalam kubu yang berbeda atau bahkan ada aktifitas lainnya, yang lebih menantang?, kita tunggu saja.
Tzzz
iga minggu berlalu, waktu tidak pernah perduli dengan semua hiruk-pikuk dan kemejaman penghuni jagat. Seolah ingin terus membiarkan semua insan terus dalam golakan air  hangat. Sulaman-sulaman kain kassa yang halus makin jelas. Aria Cekih merasa tersinggung dengan diusirnya Sumirah dari rumah Komba Jarod. Aria Cekih tahu betul, jika Sumirah dan Elayat adalah teman dekat, dan Sumirah adalah satu-satunya gadis pendukung skandal citanya dengan Elayat.
Situasi sekolah makin sumbing dan latah, perseteruan Aria Cekih dan Komba Jarod serta istrinya makin meruncing dan membuat terombang-ambing perogram memajukan pendidikan, bahkan kian carut marutnya situasi sekolah. Lebih runcing dan penuh kesumat, perseturuan antara istri Komba Jarod dengan Aria Cekih yang sama-sama berkepala batu, Aria Cekih berwatak singa, sedang istri Komba Jarod berwatak seperti buaya betina.
Untunglah sebagian besar guru tidak pernah peduli pada soal skandal mereka. Guru yang sekantor dengan mereka selalu berpikir “mata kami tidak melihat semua yang mereka perbuat, hati kami hanya ingin tenang, mulut kami hanya ingin tersenyum kulum, dan fikiran kami hanya untuk anak kami di kelas, yang sabar menunggu ibu bapak gurunya, biarlah si kumbang asyik hinggap dan menempel di atas klopak bunga yang sebentar lagi akan layu dan membusuk”.
Waktu memang sebagai hakim yang menentukan segala konspirasi yang dibangun oleh Aria Cekih beserta Komba Jarod dan istrinya, Leti Marsi. Mereka pula yang selama ini bersatu dalam ikatan tekad untuk menancapkan kuku-kuku tajamnya di rimba sekolah, sebagai pihak yang berkuasa dan penuh gerakan bawah tanah dan berselimut, hingga berujung pada loby yang mengharuskan sang pimpinan Sekolah mengelurkan kebijakan-kebijakannya yang melemparkan kebinaran dan kesahajaan nurani dan kemolekan intelektual para pendidik di luar kelompoknya. Tentu,   agar semua pihak di luar lingkaran “Iblis” yang mereka bangun menjadi lemah dan tidak bernyali dalam meluruskan dan membersihkan  hati dan fikiran mereka. Bagi mereka yang penting adalah rufee, rufee, dan rufee!. 
 Kini waktu telah berwajah lain, waktu tak selamanya berpihak pada penguasa dan diktator seperti mereka. Mungkin, waktu telah bosan dengan lingkaran “Iblis” dan ingin segera menggilasnya. Apa boleh buat, mereka pula yang membuka kedoknya sendiri selama ini. Segala liku dan arus waktu yang telah mereka rancang, simpulkan, dan jalankan dalam komitemen bersama, akhirnya sampai pada ujung batasnya. Segala kekroposan dan keangkuhan watak, kebusukan nalar,  keserakahan, serta kelatahan caluk-caluk bisu pribadi koropos mereka, malah dikuak dan dibuka oleh mereka sendiri. Memalukan!.
 Pihak lain hanya tersenyum kulum dengan belaian dan hembusan sepoi angin lembut dengan kemerduan suara pipit-pipit jentik di atas bunga warna putih pohon Puspa yang menebarkan harumnya hati yang bersih dan termahkotai iman. Ketidakgemingan dan tatapan cakrawala yang hangat dipagi hari dengan bingkai kebeningan embun di atas dan di ujung bunga dedaunan. Perputaran waktu dan silih bergantinya musim hanya menitipkan sebuah pesan singkat yang lembut pada tiap penghuni alam, yang sibuk dengan dengusan nafas dan rengkuhan-rengkuhan barjal ragawi. Kita hanya menjadi lakon dalam pentas panggung jagat raya dengan untaian-utaian dan kedipan al-buruj di lengkung layar assamaawaaat dimalam hari yang gaduh.
zzz

A    ria Cekih dan Elayat makin damai dalam kancah kebahagiaan di balik pendidikan dan kursus “terpadu”. Mereka tetap tenang dalam rajutan perselingkuhan yang penuh kenikmatan di atas kenafikan kasih sayang pada anak istri dan keluarga. Bahkan pada kesahajaan lingkungan pendidikan.
            “Tenglah Elayat, hubungan kita tetap aman” sahut Aria Cekih pada Elayat, ia mencoba meyakinkan Elayat.
            “Tentu atuh pak, eh salah lagi, tentu dong! aa, hubungan kita ‘kan selalu aman. Bukankah kau amat sayang padaku? Dan engkaupun tak perduli dengan anak istrimu, demi aku ‘kan?” balas Elayat sambil menatap tajam pada Aria Cekih.
            “Wah, jelas dong! Tentu ah,  sayang….!  Semu hal, tidak menjadi halangan bagi cintaku padamu” jawab Aria Cekih dengan tegas.
Mereka saling memandang, mata mereka saling menatap dengan tajam pada arah lekuk-lekuk tubuh masing-masing. Sama-sama saling mencari ketakjuban dan rasa yang penuh evik kemanisan madu.
            Dalam tatapan mata dan sambil bergeser mendekati Aria Cekih, Elayat yang sudah bergetar, dengan hati-hati ia berkata “Maafin aku, sayang, aku telah merenggut cinta dan kasih sayang istri dan anakmu”.
            Aria Cekih sedikit kaget, ia langsung memeluk Elayat dengan erat di tengah nafas yang terengah “Sudahlah… kamu tidak perlu risau dan memikirkan soal bodoh itu, yang penting, aku kini telah memiliki kamu dan kamupun memiliki aku, tentu memiliki segalanya sayang…ohhhh” 
Larut dalam rajutan-rajutan terlarang. Sulaman cinta dan rajutan nafsu ambisi cinta yang mereka jalani terus  makin jauh hingga pada tapal batas “basah” berkeringat. Mereka tidak menyadari jika lingkungan dan status mereka membuat ketidakpantasan sulaman kasih mereka. Kelak waktu akan tampil sebagai sang hakim pembuka kedok kekroposan insan-insan yang berjalan di atas desah-desah nafas rengkuhan dalam polesan keangkuhan dan kelaliman nilai moral dan kekosongan mahkota ruhani. Matahari dan kemejaman waktu akan merobek rajutan cinta mereka.
Nampaknya kelelahan mulai hinggap pada tiap dada dan keangkuhan waktu, hingga tiap rajutan cinta kasih selalu memaksakan pada tiap sela hati, yang membuat hati wanita-wanita lembut yang setia menanti sang suami pulang tergores luka, hingga menganga dan terkelupas kepedihan abadi.
            Banyak kumbang tua yang hinggap di atas klopak-klopak bunga di kebun keremangan jaman, tanpa dan tidak melihat putaran waktu yang mengusung keremangan menuju celah-celah pagar yang ditembus cahaya. Saat cahaya makin terang, keremangan pun sirna.
Terlihat amat jelas, klopak bunga telah layu terkelupas tanpa daya. Sang kumbang mengiung dengan getaran sayapnya.  Ingin kembali terbang, setelah kenyang menghisap madu bunga. Entah kembali pada sangkar, tempat keluarga tecinta menunggu, entah terus berpetualang dan berseliara, di taman-taman kebun yang bebas dan luas. Kebun-kebun yang dipenuhi bunga-bunga segar dan baru saja mekar, dengan keharuman yang dibawa hembusan angin hingga harumnya menusuk naluri










Ayat hujan mengabarkan, “Bunga bermekaran, dengan segala damba dan keharumannya, kumbang pun kebingungan dengan segala ambisi dan angkaranya”.  Kesumbingan raut hati dalam degup-degup jantung yang bengis dengan sorot mata dan kata-kata murka telah berlalu dengan segala kodratinya, bagaikan air sungai yang mengalir hingga di ujung muara. Sang waktu ternyata telah menghunuskan pedangnya. Pedang terhunus, akhirnya terkibaskan pada tiap butir debu yang kropos. ”Pass saatnya nanti .......”
Yzzz
    a Allah.... ya Rabbi..., jangan tinggalkan aku, jangan Engkau bengkokan hatiku ini, tuntunlah hatiku ya Allah, agar selalu kunikmati setiap hari-hariku dalam mengabdikan segalanya untuk anak didikku di sekolah. Ya Allah patrikan dalam hatiku agar memuliakan siswa menjadi filosofi pelayanan hidupku. Amiin.......


--------------- Tamat Bae lah----------------
Kisah ini diambil dari kisah nyata dalam kehidupan seharai-hari. Jalan cerita disesuaikan dengan pandangan dan pendapat penulis terhadap lingkungan dan para pelaku seperti Elayat, Sumirah, Aria Cekih, Komba Jarod, dan Leti Marsi. Seluruh pelaku adalah orang yang dikenal oleh penulis. Gaya cerita secara logis dan sedikit pengembangan tema dengan bahasa langsung dan terkadang menggunakan bahasa imajinasi. Unsur EVIK  sengaja dimunculkan, agar kita sebagai pembaca dapat mengetahui ujung masalah dalam cerita ini. Unsur “Harta, Tahta, dan Wanita” pada dasarnya sebagai sumber utama dalam tulisan ini.---Citorek,  Des’07---























































Tidak ada komentar: