Senin, 14 Juli 2014

Sisi Indah Desa Citorek Tengah

Calon Bupati Cilangkahan (Citorek Makalangan)
   J. Karjaya, memantau PILPRES
Jajaran "Leuit" Kp. Naga 2
Aksebiliti jalan ke Leuit
Saat bersama BAKOR Cilangkahan
Kantor Desa Citorek Tengah
Mengatur Karuawan di Cirotan
di ruang kerja
Bersama Baris Kolot "Serentahu"
Pengajian
Siap-soap Seren-sumren
Gotrasawala
J. Edih Mulyadi (citorek Sabrang)
J. Dian P (Citorek Barat)
Istirahat
Lisung
Lantayan
Akses jalan desa
Hedi Jeded-Rengkong




Panen Lauk emas

Akses Jembatan Desa

Pejabat Parigi

Komandan Pertigaan

gegenek

Jembatan Naga 2

J. Karjaya bersama Bp. Didi (BAKOR)

J. Karjaya, Mulyadi. Sumawijaya (BAKOR), J. Edih

J. Dian, J. Iyo, J. Karjaya

J. Karjaya dan Jaro Adat (H. Ace)

Grup Rengkong Citorek Tengah

Panorama Citorek

Ua Asmawi

Usup Kelana (Kades Citorek Timur)

Pemimpin ‘Lokal’ Pilihan Pemimpin Sejati (Siap Makalangan di DOB Cilangkahan)


Oleh Mulyadi Sugiansar

Jaro Karjaya (Kades Citorek Tengah) 
Kondisi daerah saat ini semestinya menyadarkan kita akan pentingnya kepemimpinan yang Islami. Kepemimpinan itu ada dua jenis, yakni kepemimpinan umat dan kepemimpinan daerah.
Idealnya pemimpin daerah adalah juga pemimpin umat. Dia imam di masjid sekaligus imam dalam urusan politik, sebagaimana  khulafaurrasyidin. Sehingga keputusan-keputusan politik selalu dilandasi Syariat Islam dan mempertimbangkan kepentingan umat. Saat ini kedua jenis kepemimpinan itu terpisah.

Kepemimpinan sangat pragmatis kapitalistik, sementara kepemimpinan umat Islam menghendaki syariat Islam. Akibatnya umat selalu dimarginalkan. Di sinilah urgensi adanya kepemimpinan yang sejati. Yakni kepemimpinan yang berbasis ketakwaan. Baik takwa secara individual, sosial maupun secara sistem.

Terjaganya harta, jiwa dan kehormatan rakyat bukanlah hal yang utopis. Namun jika pemimpinnya tidak bertakwa, apalagi sistimnya sekularis kapitalistik tentu terwujudnya kesejahteraan rakyat hanyalah khayalan belaka. Mengapa? Karena rakyat yang ia pimpin hanya akan jadi obyek pemuasan serakahnya. Bahkan rakyat yang ia pimpin tidak jarang ia suguhkan pada serigala-serigala yang jahat. Maka wajar jika ada seruan dalam Komunitas masyarakat Lokal khusunya Masyarakat Wewengkon Citorek untuk menolak pemimpin yang kurang mumpuni, umumnya di DOB Cilangkahan.

Memilih pemimpin memang harus sesuai dengan suara hati. Sebaliknya memilih calon pemimpin jangan karena egoisme pribadi (kultus). Memilih pemimpin karena materi (uang) bukanlah ukuran “suara hati”. Memilih pemimpin yang sesuai dengan suara hati harus disertai oleh pertimbangan yang matang. Tentunya dengan melihat kriteria-kriteria ideal bagi seorang pemimpin.

Faktor kepemimpinan sangat penting untuk kita jadikan perhatian, karena peranan pemimpin sangat besar dalam penentuan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan. Terlebih Wewengkon Citorek dan DOB Cilangkahan yang merupakan kabupaten yang akan lahir setelah pemekaran dari Kabupaten Lebak.

Secara substansial pemekaran daerah mengusung pesan dan harapan yang sama, yakni bertujuan untuk memperpendek jarak pelayanan birokrasi kepada masyarakat sehingga roda pembangunan daerah bisa bergerak lebih cepat. Selain itu juga perlu diingatkan, pemekaran harus dikawal dan dijaga agar tidak disalahgunakan oleh para elit lokal untuk mengejar kepentingan pribadi dan kelompok. ‘Pemekaran bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah, bukan untuk kepentingan kekuasan para elit lokal’.

Ada tiga ungkapan yang biasanya dijadikan prasyarat bagi yang berminat menjadi pemimpin, khususnya di tatar Banten. Ungkapan itu adalah Nyantri, Nyakola, dan NyundaUntuk ungkapan yang pertama atau nyantri ini, pemimpin itu harus memiliki kecerdasan spiritual yang disimbolisasikan dengan istilah Nyantri. Spiritual menjadi harga mati sebagai benteng terakhir agar seorang pemimpin sadar betul bahwa kepemimpinannya itu adalah amanah dan harus dipertanggungjawabkan. Nyakola  sesungguhnya simbol dari seseorang yang lebih mementingkan nalar ketimbang tubuh. Nalar tidak pernah berhenti berfikir. Tidak pernah berfikir juga menggadaikan nalar untuk kepentingan sesaat, memburu kekuasaan dengan cara yang tidak terhormat. Untuk ungkapan yang ketiga atau Nyunda ini tidak harus dimaksudkan secara reduktif sekedar referensi etnis geografis yang merujuk pada wilayah Banten sebagi suku sunda saja, tetapi Nyunda adalah diksi dengan makna seperangkat nilai-nilai kesundaan yang harus dimiliki oleh para pemimpin.

Maka masyarakat perlu menyadari pentingnya pemimpin “lokal” untuk dikawal menuju tampuk kepemimpinan yang lebih tinggi, semisal pemimpin lokas Kepala Desa untuk didorong dan didukung menjadi pemimpin ditingkat yang lebih tinggi semisal menjadi pemimpin di kabupaten. Sosok Jaro Karjaya dianggap mewakili dari ketiga ungkapan di atas, dia saat ini menjabat sebagai Kepala Desa Citorek Tengah, Jaro Karjaya dianggap sebagai sosok pemimpin local yang berhasil dan sukses membawa kehidupan masyarakatnya lebih makmur dan sejahtera serta terdidik dan religius.

Semoga akan muncul pemimpin “lokal” yang betul-betul mampu membangkitkan masyarakat Wewengkon Citorek dan DOB Cilangkahan menjadi masyarakat yang adil dan makmur. Memiliki komitmen kuat membangun daerah demi terwujudnya cita-cita luhur pemekaran. Dan yang terpenting lagi, jangan pilih calon pemimpin amoral. Semoga Allah menyamakan suara hati kita dalam memilih calon Pemimpin.

Sabtu, 31 Mei 2014

KABUPATEN CILANGKAHAN, SEBUAH SOLUSI PEMBANGUNAN

Oleh Mulyadi Sugiansar




Wacana pemekaran wilayah, baik di tingkat Provinsi, Kabupaten /Kota, maupun di tingkat Desa awalnya hanya merupakan issu politik belaka, namun pada akhirnya wacana tersebut menjadi kenyataan. Jawa Barat terbelah menjadi Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, Tanggerang menjadi Kota Tanggerang dan Kabupaten Tanggerang, dll. Bagaiamana halnya dengan pemekaran Kabupaten Lebak menjadi Kabupaten Lebak dan Kabupaten Cilangkahan?

Tanggapan para tokoh politik, birokrat, tokoh adat (kasepuhan) dan tokoh masyarakat terhadap wacana pemekaran wilayah di Kabupaten Lebak sangat beragam, ada yang setuju dan ada yang menolak. Bahkan banyak para tokoh masyarakat dan media memandang bahwa pemekaran wilayah tidak lebih hanya sekedar pemikiran sekelompok elite politik yang berambisi untuk menduduki jabatan Bupati atau jabatan lainnya, sedangkan masyarakat sendiri pada umumnya bersikap masabodoh.

Terhadap persoalan ini, pandangan dari setiap golongan masyarakat di Lebak Selatan yang diamati penulis, pada dasarnya berpendapat bahwa pemekaran wilayah di Kabupaten Lebak bisa dijadikan sebuah solusi untuk memecahkan berbagai problematika pembangunan Lebak, dan bukan sekedar ambisi dari para pecundang elit-elit politik di Lebak terhadap kekuasaan. Pemekaran wilayah, boleh jadi sebuah strategi pemerataan hasil pembangunan yang dalam periode kepemimpinan sekarang tidak pernah terjadi di Lebak. Paling tidak ada lima alasan pokok perlunya pemekaran wilayah Kabupaten Lebak yaitu ;.

Pertama; secara georgafis, wilayah Kabupaten Lebak cukup luas. Luasnya wilayah ini menunjukkan betapa beratnya tugas seorang Bupati karena faktor geografis yang terlalu di samping faktor-faktor lain yang menyebabkan Bupati tidak dapat berkunjung ke seluruh wilayah kekuasaannya.

Kedua; secara demografis, jumlah penduduk Kabupaten Lebak cukup padat, apalagi Kabupaten Lebak yang masyarakatnya memiliki karakteristik tersendiri yaitu masih teguh memegang budaya dan tradisi secara turun temurun (kaolotan) selain itu karakteristik masyarakat Lebak termasuk dinamis tapi cenderung keras dan kasar. Seiring dengan laju pertumbuhan jumlah penduduk yang begitu pesat, maka secara otomatis kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan publik semakin meningkat pula. Ini merupakan problematika tersendiri dalam penyediaan inparastuktur untuk pelayanan publik.

Ketiga; secara politis, dinamika kehidupan sosial politik di Lebak cukup kreatif dan unik. karakter dan kultur masyarakat Lebak sangat berbeda dengan masyarakat disekitarnya. Banyak para tokoh nasional dan organisasi-organisasi yang kemudian menjadi besar terlahir dari Kabupaten Lebak. Kemudian banyak para perantau kelahiran Lebak yang sukses di luar Lebak termasuk para ulama, cendikiawan, birokrat, bahkan para jawara yang mempunyai nama di luar Lebak. Mereka sedikit banyaknya akan mempengaruhi suasana kehidupan berpolitik di Kabupaten Lebak. Hal ini menunjukan betapa dinamisnya masyarakat Lebak dalam kehidupan berpolitik, sebab itu seorang Bupati Lebak perlu memiliki kecerdasan politik tersendiri supaya semua elemen masyarakat merasa diayomi oleh pemimpinnya. Jika wilayah kekuasaan Kabupaten Lebak terlalu luas maka akan menyulitkan Bupati untuk mengidentifikasi dan mengawasi, mengayomi dan membina para kader politik dan tokoh pergerakan yang ada di Lebak.

Keempat; secara ekonomis, pemekaran wilayah kabupaten Lebak secara ekonomis sangat menguntungkan bagi masyarakat karena kelak akan berdiri kantor-kantor pemerintahan baru, pasar-pasar tradisional baru sebagai sentral ekonomi dan industri masyarakat, rumah sakit-rumah sakit baru sebagai pusat pelayanan kesehatan masyarakat dan berdirinya sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi baru. Maka pertumbuhan ekonomi masyarakat sudah dapat dipastikan akan meningkat serta akan terjadi penghematan biaya hidup, biaya pendidikan dan biaya kesehatan masyarakat. Selaian penghematan biaya hidup, juga peluang kerja dan usaha masyarakat semakin terbuka. Hal ini akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kelima; secara konstitusional, pemekaran wilayah itu dibolehkan dalam rangka memenuhi janji reformasi. Aspirasi pemekaran wilayah ini sebagai dampak positif dari kebijakan pemerintah tentang otonomi daerah. Pemekaran wilayah itu boleh-boleh saja selama memenuhi persyaratan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Jika sudah terbentuk kelompok yang memperjuangkan pemekaran dan sudah diakomodir oleh pihak legislatif dan eksekutif, maka semua potensi dan upaya masyarakat akan diarahkan pada pencapaian tujuan itu.

Diantara persyaratan pemekaran kabupaten adalah harus ada kantor pemerintahan, ada Rumah Sakit, ada pasar, dan sentral-sentra industri ada perguruan tinggi dll. Apabila inprastuktur sudah mulai di bangun apalagi sudah dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, secara tidak langsung kesejahteraan masyarakat sudah meningkat, paling tidak untuk berobat rumah sakit sudah ada dan mudah dijangkau, biayapun bisa lebih murah, demikian pula jika pusat perbelanjaan masyarakat sudah ada di wilayah pemekaran, transportasi mudah dan akan mengurangi tingkat kemacetan. Pemekaran wilayah sebagai strategi pembangunan demi mencapai pemerataan kesejahteraan masyarakat Lebak. Jika masyarakat sudah merasa sejahtera, maka persoalan pemekaran wilayah itu bukan lagi menjadi isu penting.
Selanjutnya fenomena pemekaran Kabupaten Lebak, sesungguhnya sudah terlambat jika dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain khusunya di wilayah Banten, mislanya Kabupaten Tanggerang dimekarkan menjadi Kota Tanggerang dan Kabupaten Tanggerang Selatan. Jika ada keinginan yang kuat dari masyarakat Lebak khususnya Lebak Selatan sendiri dan ada keberanian politik dari para legislatif dan eksekutif, apa yang menjadi kendala dan kerugian ketika seorang Bupati memberikan kesempatan bahkan mendorong keinginan masyarakat Cilangkahan untuk memisahkan diri dari Kabupaten Induknya yang nantinya Kabupaten Lebak menjadi dua Kabupaten. Jika terjadi pemekaran Kabupaten Lebak insya Allah pemerataan dan penataan Lebak tidak akan kumuh seperti sekarang ini. Pertanyaannya apakah para elit politik itu mau atau tidak? Jangan takut, DOB Cilangkahan Selangkah lagi.

Penulis tinggal di Citorek
Nuhun lur…

Rabu, 21 Mei 2014

Kasepuhan Citorek serta Ketahanan Pangan Bangsa

Kasepuhan Wewengkon Citorek

Bertani, Nafas Budaya dan Penjagaan Adat Istiadat Serta Ketahanan Pangan Bangsa.
"Komunitas adat bagi bangsa Indonesia adalah aset budaya yang tidak terhingga Nilainya. Keberadaanya tidak terlepas dari akar sejarang panjang  selama ribuan tahun dan wujud unik atas keberagaman bangsa ini."
Tata nilai yang telah dianut pada komuntas desa adat bukan hanya terkait aspek sosial-budaya semata tetapi terintegrasi pula dengan aspek lainya seperti sistem ekonomi, lingkungan dan sebagainya.
Salah satu komunitas desa adat yang masih eksis dan terus menjaga tata nilai budaya leluhur mereka terutama dalam sistem budaya pertanian adalah Kasepuhan Wewengkon Citorek yang tergabung dalam Kesatuan Kasepuhan Banten Kidul (SABAKI) salah satu desa adat di Indonesia yang terletak di Desa Citorek Tengah, Desa Citorek Timur, Desa Citorek  Kidul, Desa Citorek Barat dan Desa Citorek Sabrang Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Komunitas ini merupakan kelompok masyarakat adat sunda yang tinggal di sekitar Gunung Halimun, terutama di wilayah Kabupaten Sukabumi sebelah barat hingga ke Kabupaten Lebak, dan ke Utara hingga ke Kabuptaen Bogor.
Sisi menarik dan sangat menonjol diantara banyak keunikan dari komunitas ini adalah terkait penjagaan adat dalam pengelolaan sistem pertanian padi yang mereka lakukan. Bagi mereka, bertani  bukan hanya sekedar aktifitas ekonomi semata terkait menanam, memelihara dan memanen. Lebih dari itu, bertani adalah bagian dari nafas budaya dan penjagaan adat istiadat dari leluhur mereka. Disinilah diterapkan sebuah sistem pertanian yang terus dijaga ketat dalam aturan adat dan dipantau langsung oleh Oyok Didi sebagai pemangku Adat Kesepuhan Wewengkon Citorek.


Larangan demi kebaikan
Diantara aturan adat terpenting dalam hal pertanian adalah larangan melakukan komersialisasi produk pertanian padi yang mereka tanam. Maka, pasca panen hasil pertanian disimpan di lumbung-lumbung (leuwit) yang semua warga kasepuhan wajib memilikinya  untuk kebutuhan pangan mereka dan kebutuhan sosial lainya, termasuk juga adanya leuwit "Aub" milik kasepuhan.
Begitu pula dengan pemakaian bahan kimia sintetis dalam kegiatan pertanian di kasepuhan pun tidak diperbolehkan. Benih padi yang ditanam warga harus  benih padi varietas lokal dan musim tanam hanya dilakukan satu kali  dalam satu tahun.
Alhasil dalam pangan masyarakat tidak pernah kekurangan atau kelaparan apalagi harus import dari negeri tetangga. Sistem pertanian mereka pun tidak tergantung pada pihak luar, sehingga tidak ada ketergantungan yang berlebihan karena secara adat telah menyediakan semua kebutuhan proses produksi pertanian seperti benih lokal yang hingga saat ini telah ada lebih 68 varietas lokal ( bank benih), pupuk organik dari pemanfaatan kotoran hewan ternak dan lainya. Sebuah kearifan budaya bangsa yang ditinggalkan bangsa modern Indonesia, yang mengimpor segala macam produk pertanian sementara manusia modern Indonesia ini tinggal di negeri khatulistiwa, sungguh sangat ironis.
Inilah sebuah komunitas milik kekayaan budaya bangsa Indonesia yang telah dan terus secara nyata menjaga adat maupun aturan leluhur demi kemakmuran masyrakat setempat. Komunitas banten kidul telah membuktikan bahwa dengan aturan adat mereka masih bisa melaksanakan kewajiban sebagai petani semabri menjaga aturan dan nilai-nilai luhur yang diyakini mampu menjawab kebutuhan serta tuntutan kehidupan di saat ini dan masa mendatang serta telah terbukti selama ribuan tahun.
Apa yang dilakukan oleh komunitas ini. Khususnya terkait sistem pengelolaan pertanian menjadi inspirasi penting bagi penetapan cara pandnag kita dalam mengatasi berbagai persoalan yang membelit negeri ini khususnya dalam hal penyediaan pangan dan pertanian.
Mental kemandirian untuk memenuhi pangan sendiri (swasembada) menjadi kata kunci dalam upaya mengatasi kelangkaan pangan, bukan dengan melakukan alternatif impor secara terus-menerus.petani harus dijadikan sebagai pelaku utama dalam sektor ekonomi dan pertanian serta negara harus melindungi mereka melalui kebjakan-kebijkan dan dukungan teknis yang pro petani bukan pro kapitalis, apalagi mafia-mafia produk pertanian. Dan, Inilah bukti konkret bahwa petani memiliki nilai tambah bagi masyarakat sekitarnya bahkan menjadi bagian penting pelaksana kedaultan pangan bangsa Indonesia. Indonesia pun akan berdaya dan mandiri, sungguh mengagumkan. 
 “Mun lain urang neuk saha, mun lain ayeuna neuk iraha dei?"