Kamis, 18 Februari 2016

Orang Ini Tak Pernah Diuntungkan, Baik Materi Maupun Posisi


Kadang miris juga secara pendidikan formal lebih tinggi, tapi bisa diperdaya dan percaya penuh pada sang tokoh yang telah redup kejayaanya... orang ini padahal tak pernah diuntungkan juga baik materi maupun posisi…”  Kata seorang anak muda menjelaskan.
(Dikutif dari, Rozak Nurhawan FB, 15 Februari 2016)


1.      Memberi Tanpa Mengingat-ingat,  Menerima Tanpa Melupakan
      Kalimat bernada setengah sinis seperti di atas, rasanya cukup akrab terdengar di sekitar kita. Kata kata seperti itu menandakan bahwa kita hidup di dunia yang serba penuh perhitungan. Apapun dihitung untung ruginya. Bukankah hidup ini lebih enteng rasanya kalau kita tidak harus menghitung dan mencatat segalanya?
     Pengalaman hidup saya sendiri membuktikan bahwa hanya dalam memberi saya menerima. Artinya ketika saya memberi dengan tulus dan ikhlas, apakah itu materi, waktu, perhatian, maupun turut mendoakan, bahka kepercayaan, maka saya menerima kebahagiaan yang luar biasa dan tak terukur dengan uang, karena saya tahu bahwa balasan manusia itu terbatas dan mungkin mengecewakan. Tapi ketika Allah SW.,  memberi, maka itu selalu dalam kelimpahan.
     Dunia memang sudah mulai asing dengan ketulusan dan keikhlasan. Dalam kepintarannya manusia melakukan berbagai hal untuk senantiasa mendapatkan keuntungan yang lebih. Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh untung. Kita memang harus untung, tapi keuntungan yang seperti apa? Keuntungan yang saya maksudkan adalah keuntungan yang membawa dampak baik bagi banyak orang, dan bukan semata mata berfokus pada diri sendiri. Terlebih hanya pada keuntungan baik materi maupun posisi sebagaimana anggapan seoarang anak muda di atas.
     Mengapa kita harus iri dan takut melihat orang lain sukses atau diuntungkan? Rasa iri dan cemburu atas kesuksesan orang lain hanya akan menutupi jalan hidup kita sendiri, karena fokus kita ada pada kelebihan orang lain, bukannya bersyukur atas segala karunia yang sudah berikan Alloh SWT.,  bagi kita.  Energi dan konsentrasi kita terbuang percuma pada kehebatan orang lain, dan kita malah lupa melangkah maju.
     Dengan memberi, kita menyatakan secara tidak langsung rasa syukur kepada Alloh SWT., karena kita masih diberikan kesempatan berbuat baik. Hanya orang hidup yang bisa memberi bukan? Memberi juga adalah tindakan yang nyata, bahwa kita tidak takut kekurangan. Kita percaya bahwa kebaikan Alloh SWT., itu akan selalu mencukupi. Bagi saya, inilah ciri seseorang yang terdidik.
    Memberi mungkin bukan sesuatu yang sulit, bagian tersulitnya adalah tidak mengingat-ingat apa yang sudah kita berikan. Ada satu perasaan ringan dan kelegaan yang luar biasa ketika kita bisa melakukan hal ini. Artinya kita melepaskan diri dari ikatan bergantung dan menanti balasan kembali dari si penerima. Itu sebabnya manusia banyak hidup dalam kekecewaan karena terlalu tekun mengingat dan mengharapkan kembali apa yang sudah diberikan.
    Ketika kita diberi kesempatan untuk menolong, membantu, bahkan untuk mempercayai atau memberi kepada orang lain, berikanlah dengan penuh ketulusan. Tidak ada alasan bagi kita untuk menambah penuh kapasitas memori otak kita, karena sesunguhnya Alloh SWT., tidak pernah lupa. Percayalah, alam ini selalu mengalir dalam keseimbangan. Alloh SWT., bisa mencukupkan kita tanpa memiskinkan orang lain. Kita bisa memberi tanpa harus takut menjadi miskin. Kita percaya kepada orang lain tanpa harus takut dibohongi.
     Membantulah, memberilah dan percayalah pada mereka yang membutuhkan tenaga kita, pemikiran kita, dan ilmu pengalaman yang pernah kita dapat selama mengeyam pendidikan, layanilah mereka dengan bijaksana tanpa melihat strata sosial dan pendidikan.  Sisi yang lain dari memberi adalah menerima. Banyak orang mungkin berpikir bahwa menerima itu enak. Kita berada di posisi yang diuntungkan. Justru bagi saya, menerima sesuatu dari orang lain selalu menjadi beban tersendiri, karena saya tidak bisa melupakan kebaikan orang lain dalam hidup saya. Orang tua saya menjadi contoh yang sangat baik dalam mendidik dan mengajarkan untuk tidak pernah melupakan budi baik orang lain.
Apa jadinya dunia ini kalau semua orang hanya mau menerima tanpa membalas? Mungkin kita tidak diberikan kesempatan setara atau secara langsug membalas kepada si pemberi, tapi latihlah diri kita untuk mengingat kebaikan yang sudah kita terima, dan disiplinkan diri kita untuk berbuat hal yang sama kepada orang lain ketika kita diberikan kesempatan. Hanya dengan cara itu kebaikan bisa menjadi bola salju yang bergulir tanpa henti, dan kita dapat hidup di dunia yang dapat mewartakan indahnya kebaikan hati.
     Ketika kita memberi tanpa mengingat-ingat untuk dibalas, kita dapat hidup dalam ketentraman hati yang tenang, ikhlas dan lega. Ketika kita menerima tanpa melupakan, maka kita menjadi penerus kebaikan yang konsisten mendatangkan lebih banyak kebaikan dimana saja kita berada
2.       Hak dan Tanggung Jawab Kita sebagai Manusia adalah untuk Menyeimbangkan Hak dan Tanggung Jawab Itu Sendiri
    Sebelum mengutarakan pendapat saya,, saya akan menyinggung terlebih dahulu definisi dari "individualisme"  berdasarkan BKKBI (2007: 189) bahwa individualisme menjadi sebuah paham atau ideologi yang cenderung dianut oleh kita, sebagai manusia biasa apabila dilihat dari sudut secara perorangan/pribadi. Jadi yang dimaksud "individualisme" bukanlah suatu sosok, melainkan lebih tertuju pada suatu watak yang memiliki kecenderungan untuk memprioritaskan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan khalayak banyak.
    Saya rasa individualisme sendiri juga menjadi hak dan juga kewajiban dalam hidup seseorang. Dimana seorang manusia memiliki hak untuk memiliki suatu privasi, kepentingan diri, serta ia juga berhak melakukan tindakan-tindakan yang mendukung kepentingan dirinya. Selain itu jugalah menjadi tanggung jawab bagi seorang manusia untuk mempertanggungjawabkan jiwa, raga, dan seluruh anugerah yang ia miliki kepada Alloh SWT., sebagai wujud syukurnya.
     Manusia hidup sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk individualis, sehingga dalam tiap jiwa manusia pasti akan ada rasa individualisme dan sosialisme pula, dimana hak dan tanggung jawab kitalah untuk menjaga dan terlebih untuk menyeimbangkan keduanya sebagai suatu ciri khas karakter kita sebagai manusia yang menjadi ciptaan Alloh SWT.
     Bila ada yang bertanya " Apa sih yang anda cari di dunia ini?" atau apabila anda dihadapkan pada pertanyaan "Untuk apa sih kita ini hidup di dunia?"... Sebagian mungkin akan menjawab bahwa manusia hidup untuk mencari kebahagiaan, atau untuk menemukan rahasia hidup itu sendiri... Mungkin mereka tidak bisa dibilang salah... Karena pertanyaan itu merujuk pada pendapat,, dimana pendapat tidak menjadi suatu yang bisa dinilai kebenaran atau kesalahannya... Kebebasan berpendapat pun telah diakui oleh seluruh ahli, dan dari sanalah pikiran" besar muncul.
     Atau bahkan adanya pertanyaan yang muncul cukup sinis "Apa artinya pendidikan formal lebih tinggi, tapi bisa diperdaya dan percaya penuh pada sang tokoh yang telah redup kejayaanya... orang ini padahal tak pernah diuntungkan juga baik materi maupun posisi…??”
     Dan bilamana pertanyaan itu datang menghampiri saya,, maka saya akan menjawab bahwa kita hidup untuk diri kita sendiri, orang lain, dan Alloh SWT., yang mencinptakan kita. Hal ini mewakili pendapat saya bahwa manusia pada dasarnya hidup untuk menerima, memberi, dan mengembalikan semuanya kepada Alloh SWT.
     Intinya adalah bahwa hak dan tanggung jawab menjadi sesuatu yang tidak dapat dipilih... karena hak dan tanggung jawab berjalan seiringan dengan perbandingan setara dimana seberapa banyak yang kita dapatkan, sedemikian jugalah yang harus kita persembahkan kepada orang lain, dimana saya tekankan di sini bahwa kata "banyak" bukan merujuk pada materi yang dapat dihitung,, melainkan lebih pada perbuatan dan tindakan yang nyata dan tulus.
     Mengenai perusakan diri dan kepentingan umum, apa yang dapat saya katakan adalah bahwa seorang manusia dengan individualisme yang berlebihan tanpa rasa sosialisme menjadi benalu bagi orang lain... Individualisme yang berlebihan akan berkembang menjadi sifat egois dan mulai serakah... Karena ketika seseorang melupakan orang lain, ia mulai melupakan Alloh SWT.
     Menyinggung soal “posisi” dan menguntungkan, menurut saya perspektif yang diambil sudah tepat... Karena pada dasarnya “posisi” dan menguntungkan adalah relatifitas yang tidak terhingga... Tiap karakter memiliki perspektif yang berbeda-beda.  Sistem yang berlaku dalam masyarakatlah yang kini menjadi landasan penentu apakah jalan yang saya pilih itu adalah baik atau bukan.    
   Lalu apakah definisi dari menguntungkan? Apakah keuntungan yang dimaksud selalu berupa materi? Bila ia, maka pendapat itu dapat dibenarkan bagi seorang individualis. Namun apabila tidak, saya rasa masih banyak "bentuk" lain dari suatu hal yang dianggap menguntungkan...
     Menguntungkan tidak sama dengan menerima secara konkrit. Contoh ekstrimnya, apabila seorang kaya dermawan menyumbang pada panti asuhan dan ia merasa bahagia akan hal itu. Siapa di sini yang diuntungkan?? Atau bahkan apabila seseorang yang berpendidikan tinggi, tapi bisa diperdaya dan percaya penuh pada sang tokoh yang telah redup kejayaanya... padahal tak pernah diuntungkan juga baik materi maupun posisi, siapa di sini yang diuntungkan??  Keterkaitan antara memberi, menerima dengan keuntungan dan kerugian, maupun baik buruknya sesuatu tak dapat diukur dengan keidentikan pandangan sesederhana itu...
    Hak dan Tanggung Jawab kita sebagai manusia adalah untuk menyeimbangkan hak dan tanggung jawab kita itu sendiri. Semoga anak muda yang mengatakan “Kadang miris juga secara pendidikan formal lebih tinggi, tapi bisa diperdaya dan percaya penuh pada sang tokoh yang telah redup kejayaanya... orang ini padahal tak pernah diuntungkan juga baik materi maupun posisi…”  dapat lebih bijak meberikan penilaian terhadap orang lain. Mampu memandang secara objektiv terhadap orang lain, terutama dirinya sendiri.

Semoga Alloh SWT., mengampuni kita semua. Amiin …