Rabu, 27 Februari 2013

Tradisi dalam Keseharian Anak-anak Citorek

Tradisi dalam Keseharian Anak-anak  Citorek
(by. Jabrig Parigi)

Definisi Tradisi
Tradisi merupakan suatu bentuk kebiasaan masyarakat di suatu tempat yang tergambar dalam pola kehidupannya sehari-hari. Tradisi dan kebudayaan hampir sama namun, tradisi lebih merujuk pada pengertian adanya suatu kebiasaan pola hidup yang tidak mengikat dalam kehidupan masyarakat adat suatu daerah termasuk Masyarakat Adat Citorek. Dalam hal ini tradisi dapat dikategorikan sebagai warna dalam kehidupan masyarakat yang tergambar dalam pola-pola kebiasaan yang disepakati yang keberdaannya disadari atau tidak oleh si pelakunya, termasuk tradisi dalam masyarakat Citorek saat ini.
Pada dasarnya sulit untuk mengemukakan batasan dan pengertian tradisi secara pasti. Untuk menemukan batasan tradisi perlu ditinjau dari berbagai segi, baik secara sosiologi, psikologi, dan antropologi terutama yang terkait dengan ilmu yang memang secara khusus berkaitan dengan tradisi. Tradisi apabila kita bandingkang dengan kebudayaan terdapat hal yang hampir sama, hanya dalam hal ini nampak, bahwa kebudayaan memiliki batasan yang lebih luas dibandingkan dengan tradisi. Tradisi mengarah kepada segala kegiatan manusia yang mengarah kepada karya budi sebagai tujuan. Sedangkan kebudayaan mengarah kepada kerangka yang menyebabkan adanya tradisi. Jadi jelas bahwa kebudayaan memiliki tradisi dan tradisi terdapat dalam kebudayaan.
Dalam kehidupan masyarakat Citorek terdapat beberapa pola kehidupan masyarakatnya yang dapat digolongkan sebagai sebuah tradisi, seperti tradisi naheun corak, naheun sosog, naheun buwu, naheun badodon, ngabedolkeun situ/kobak, ngabedolkeun sawah, ngaregreg, berok lauk, ngendogkeun, liliuran gawe, dan tradisi Nasi kabuli.

 Tradisi Masyarakat
1) Tradisi Naheun Corak
Tradisi naheun corak merupakan sebuah tradisi yang sudah sekian lama ada dan dijalankan oleh masyarakat Adat Citorek. Kebanyakan pelaku dari tradisi Naheun Corak ini adalah anak-anak. Naheun Corak merupakan sebuah tradisi yang sudah dinggap sebagai kebiasaan yang telah turun-temurun.
Corak adalah sejenis alat untuk menangkap belut di pesawahan. Corak terbuat dari bahan bambu yang bagian-bagiannya sebagai berikut, yakni Ruas (bambu yang berukra sedang) yang dipotong secukupnya dari masing-masing buku bambu, bahan yang kedua dari Corak adalah sikur (anak corak) sebagai alat untuk menjerat belut yang sudah masuk ke dalam lubang bambu. Dalam hal ini sikur merupakan alat yang paling vital dalam menjerat ikan belut. Sikur terbuat dari bahan bambu yang sengaja di anyam sedmikian rupa hingga dapat di pasang di dalam lubang corak yang bermafaat untuk menipu ikan belut. Selain itu sikur juga berfungsi sebagai alat menyimpan umpan. Umpan yang biasanya digunakan dalam tradisi naheun corak adalah cacing tanah.
Cara membuat Corak tidaklah begitu sulit. Bahan-bahannya dapat ditemukan dengan mudah, yakni di hutan-hutan sekitar wilayah Citorek. Adapaun jenis bambu yang biasanya digunakan untuk membuat corak adalah bambu Tali (Awi Tali) dan bambu Buluh (Awi Buluh). Bambu yang dijadikan bahan corak adalah bambu yang belum begitu tua, bambu bahan corak haruslah bambu yang tergolong masih muda. Setelah bambu diambil dari hutan maka biasanya bambu akan dipotong-potong menjadi ruas peruas. Selanjutnya dirapikan sedemikian rupa, setelah dianggap rapi, biasanya bagian kedua dalah membuat anyaman bambu yakni Sikur, alat ini biasa disebut anak corak. Maka apabila sebuah ruas bambu sudah dilengkapi dengan sebuah anak corak (Sikur), maka berarti corak sudah siap digunakan untuk menangkap ikan belut. Cara dalam memasang corak (Naheun Corak) disawah adalah sebagai berikut:
  1. Mencari umpan (Opan). Biasanya umpan mudah untuk didapat, yakni di tipa-tiap pematang sawah. Jenis umpan yang digunakan adalah cacing tanah.
  2. Setelah umpan dirasakan cukup, maka umpan dari cacing tanah akan dihaluskan dengan menggunakan batu atau alat lain yang dapat digunakan untuk menghaluskan umpan hingga dianggap cukup halus.
  3. Umpan yang sudah halus, akan dimasukkan ke dalam anak corak (Sikur).
  4. Setelah seluruh corak dipasang sikur, maka selanjutnya satu persatu corak akan dipasang di tengah sawah.
Memasang corak tidak asal pasang namun, tanah yang sudah gembur di sawah akan digali sedikit lalu corak ditancapkan di dalam tanah lumpur, hingga hanya terlihat lubang bagian depanya saja. Jika telah selesai maka dipasang, maka keesokan harinya pada pagi hari, sesudah subuh anak-anak ramai mengambil corak yang kemarin di pasang. Pada saat anak-anak bangun pagi dan bersiap untuk mengambil kembali coraknya yang kemarin telah dipasang dengan penuh harap-harap dan kegirangan mereka berangkat bersama-sama untuk mengambil corak. Mereka berangkat mengambil corak biasanya cukup pagi yakni, sekitar pukul 05.00/atau ba’da Adzan Shubuh.
Dalam kegirangan mereka yang penuh harap-harap mendapat ikan belut yang cukup banyak, mereka mengafresiasikan kegirannya itu dengan selalu bernyanyi bersama saat berjalan menuju sawah. Salah satu nyanyian yang mereka adalah sebagai berikut:
O…. eo eo eo ah!
O…. eo eo eo ah!
O…. eo eo eo ah!
Corak aing corak buluh,
Diasupan belut. Pinuh!
Dipaisna mani ngeunah!
O…. eo eo eo ah!
O…. eo eo eo ah!
O…. eo eo eo ah!

Dalam menyanyikan nyanyian ini biasanya mereka terus menerus saling bersahutan sejak turun dari rumah sampai mereka tiba di sawah yang dituju.

  1. Tradisi Naheun Sosog
Sosog termasuk salah satu tradisi masyarakat Citorek dalam menangkap ikan. Tradisi naheun sosog termasuk sebuah tradisi yang musiman. Yakni hanya pada musim ngabedolkeun sawah/nyogolan dan yang paling dianggap baik adalah saat cuaca selalu hujan. Sosog biasanya di pasang pada sore hari dan akan diambil/diangkat pada pagi harinya untuk mengambil ikan yang sudah terperangkap dalam sosog. Sosog ini di pasang pada kokocor sawah ( saluran pengairan antar sawah). Jika musim hujan cukup sering dan panjang (usim ngijih), maka bisanya sosog di pasang pada kokocor sawah sebanyak dua kali yakni pada siang hari dan malam hari.
Sosog terbuat dari bambu yang cukup besar dengan rata-rata ukuran 10 dia meter. Pada saat prosesnya bagian ujung sosog akan dibelah-belah kecil secukupnya lalu dianyam dengan menggunakan tali (ikatan) dari bahan bambu. Apabila sudah selesai bagian atas sosog akan terbuka lebih lebar seperti buaya yang sedang membuka mulutnya. Ukuran hasil anyaman pada ujung sosog rata sekitar 20 cm yang selanjutnya akan difungsikan sebagai alat jerat ikan yang turun dari sawah melalui kokocor.

  1. Tradisi Naheun Buwu
Buwu adalah jenis alat untuk mengambil ikan yang biasanya digunakan oleh masayarakat Citorek dari semua lapisan dan usia serta latar belakang. Buwu biasanya dipasang bukan hanya di kokocor sebagaimana dalam sosog. Buwu ternyata lebih banyak fungsinya, yakni bukan hanya dapat dipasang pada kokocor sawah namun dapat pula di pasang pada congcorowokan. Buwu ternyata dapat berfungsi sesuai dengan jenis buwunya. Adapun jenis buwu adalah sebagai berikut:
  1. Buwu Diuk
Buwu diuk biasanya digunakan pada saat mengambil ikan dengan teknik ngarak-rak paimahan, ngaregreg, dan dipasang di leuwi-leuwi sungai. Buwu jenis ini terbuat dari bahan bambu yang teknik dan model pembuatannya mirip dengn sosog (lihat atas).
b) Buwu sosog
Buwu Sosog ini digunakan pada saat mengambil ikan di sawah dan dapat pula di pasang di kokocor. Bahan pembuatan jenis buwu ini adalah sapu lidi yang dianyam dengan menggunakan simpai dari rotan. Buwu model ini terbagi dua bagian yang paling penting yakni, induk buwu dan anak buwu. Induk Buwu berfungsi untuk menampung ikan yang sudah terejebak di dalamnya, sedangkan anak buwu berfungsi sebagai jeratannya, karena anak buwu inilah, biasanya ikan yang sudah masuk melalui celah dalam anak buwu dan masuk dalam ruang buwu induk tidak dapat keluar kembali. Buwu model ini pula yang bisanya digunakan untuk menangkap ikan Lubang (buwu lubang).

4. Tradisi Naheun Badodon
Badodon adalah jenis alat penangkap ikan yang khusus di pasang di sungai-sungai yang cukup besar dan deras. Dalam memasang badodon di sungai dianggap cukup rumit dan sulit namun tergantung dari besar dan arus sungai itu sendiri. Sebelum memasang alat penjerat ikan pada tang badan sungai terlebih dahulu harus membuat bendungan yang sederhana dengan menggunakan batuan yang tersedia di sungai. Badodon biasanya sengaja di pasang pada parung sungai. Parung sungai merupakan bagian badan sungai yang biasanya berarus air deras. Bagian-bagian yang disebut badodon adalah adalah sebagai berikut:
  1. Tanggul Badodon. Yaitu bagian bendungan yang berfungsi untuk memusatkan arus air ke pusat pasangan badodon. Tanggul ini biasanya sederhana ydan terbuat dari batuan sungai yang ditumpuk menyerupai bendungan (dam).
  2. Puser Badodon. Yaitu pusat arus air sungai yang sudah terp[usat yang megikuti aluran bendungan dari batuan sungai sehingga arus air sungai yang megalir kehilir memusat pada pasangan badodon yang terbuat dari bambu-bambu yang dipasang di tengah pusar.
  3. Sosog Badodon. Yaitu alat penjerat ikan yang dipasang tepat pada ujung arus air yang sudah memusat pada puser badodon. Memasang sosog badodon bukanlah pekerjaan yang gampang. Dalam prosesnya memerlukan tanaga, keahlian dan waktu yang cukup banyak.

  1. Tradisi Ngaregreg
Ngaregreg adalah salah satu teknik pengambilan ikan disungai-sungai terutama pada bagdan sungai yang dianggap banyak ikannya dan tidak berarus air deras. Tradisi jenis ini bisanya dilakukan oleh lebih dari satu atau dua orang, bahkan bisa mencapai puluhan orang apabila ngaregreg badan sungai yang besar dan dianggap sebagai tempat bersemayamnya ikan yang banyak.
Ngaregreg selalu menggunakan buwu sebagai alat Bantu menangkap ikannya, selain utu juga digunakan saringan yang bisanya disebut sair. Ngaregreg bisanya membendung bagian sungai yang berarus lemah serta mengurangi air yang ada untuk memudahkan penangkapan ikan. Air yang sudah dibatasi oleh tanah atau sejenisnya dengan tujuan menghindari adanya kebocoran air akan di tawu (dibuang) dengan menggunakan peralatan yang secukupnya hingga air dalam lingkaran menjadi surut. Pada saat air sudah surut maka dapat dikatakan sudah siap untuk menangkap ikan.

6. Tradisi Berok Ikan/Rangkeng Ikan
Tradisi ini lebih merupakan alat atau tempat penangkaran ikan. Terutama ikan emas. Masyarakat Citorek selain membuat balong untuk ikan sebagai tempat tempat penangkaran ikan juga selalu menggunakan pengkaran ikat yang di sebut sebagai rangkeng luk atau berok ikan. Berok atau rangkeng ini biasanya dipasang disungai-sungai besar yang airnya cukup deras, namun dalam memasang berok ikan atau rangkeng ikan ini biasaya dipilih bagian-bagian badan sungai yang memiliki atus sungai tidak deras. Dengan kata lain fungsi berok/rangkeng adalah sebagai tempat menyimpan ikan emas atau penangkaran ikan.
Berok atau rangkeng terbuat dari bahan kayu yang sangat kuat dan dibuat meyerupai kubus. Pada sisi kanan dan sisi kiri ditutup dengan sangat rapat sebagai bagian badan berok yang memeperkuat berok terhadap arus sungai yang sekli-kali terjadi banjir. Pada sisi ini selalu dipasang batu-batu besar untuk memperkuat berok dari air yang deras. Pada bagain depan dan belakang bagian-bagian kayu dipasang dengan menggunakan senggang antar kayu yang dibelah dengan lebar sekitar 5 cm. Senggang atau jarak antar pasangan kayu ini berfungsi sebagai aliran air yang cukup untuk ikan di dalam berok tersebut. Bagian atas berok ditutup dengan menggunakan papan kayu tebal yang terbuat dari bahan kayu yang sudah kuat.
Jenis-jenis kayu/pohon yang biasanya digunakan sebagai bahan membuat berok adalah kayu Jurang, Rasamala, Huru, Huru Batu, Ki Kawat, Ki Besi dan kayu lainnya yang dinggap berkualitas baik. Selain itu ada pula berok yang terbuat dari bahan bambu, namun sifatnya hanya sementara dan di pasang hanya di sawah, di balong, atau di tepat lain yang dinggap aman dari arus sungai karena bahannya yang sederhana dan tidak menjamin keamanan.

7. Tradisi Ngendokeun Lauk
Ngedogkeun (mengawinkan induk betina dan induk jantan ikan Mas agar bertelur). Istilah ini maksudnya adalah mengawinkan ikan sebagai teknik pengembangbiakan. Ikan yang masih bentuk telur dibiarkan hingga menjadi besar yang nantinya pada saat melakukan kegiatan nyogolan dijadikan sebagai pupulur yang bekerja.
Tradisi ngendogkeun (mengawinkan) induk betina dan induk jantan dalam masyarakat Citorek sudah menjadi suatu tradisi yang dilakukan oleh semua masyarakat dalam sistem pertaniannya. Hal ini semata-mata sebagai bentuk swadaya ikan dan pengembangan ikan emas terutama, yang dapat mencukupi kebutuhan lauk pauk dalam kehidupan sehari-hari.

8. Tradisi Moro Peusing (Trenggiling)
Moro Peusing/berburu Peusing sudah menjadi kebiasaan dan rutinitas masyarakat Citorek. Tradisi ini sudah ada sejak lama dan terus secara turun temurun dipertahankan. Hingga kini tradisi moro peuising masih dilakukan oleh masyarakat Citorek. Tradisi yang satu ini tergolong ke dalam tradisi yang bersifat musiman. Biasanya mereka (Pemburu) sudah hapal dan mengenal kebiasaan binatang peusing itu sendiri. Mereka dalam pelaksanaan moro peusing ini tidaklah mengandalkan kecepatan atau bahakan mereka tidak menggunakan binatang anjing yang biasanya digunakan untuk berburu.
Dalam berburu Peusing, mereka cukup dengan mempelajari gelagat dan kebiasaan binatang peusing itu sendiri, yakni hidup di atas pohon bisa pula di dalam goa. Biasanya dengan hanya mengenal bekas kaki peusingnya saja tanpa banyak menguras tenaga. Jika bekas kaki peusing sudah ditemukan amaka jalurnya akan diikuti, biasanaya hingga pada sarangnya. Saat ini tradisi berburu trenggiling sedikit menurun mengingat adanya undang-undang perlindungan hewan jenis ini.

9. Tradisi Ngalasan Buah Saninten
Tadisi ngalasan buah Saniten meruapakan tradisi masyarakat Citorek yang dilakukan secara bermusim pula. Adanya perilaku musiman ini lebih disebabkan karena pohon Saninten berbuah hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Biasanya Saninten berbuah pada tiap tahun, namun pada tiap tahun itu belum tentu buahnya dapat dianggap beneur (berisi).
Dalam masa empat tahun berbuah, hanya satu tahun yang mendatangkan buah yang melimpah pada sela satu tahun dari empat tahun itulah yang biasanya banyak masyarakat yang berbondong-bondong mengambil buah saninten di hutan belantara. Yang mesti diingat adalah jenis pohon saninten ini secara fisik mirip dengan rambutan, hanya saja jika buah rambutan tidak tajam bulu pada buahnya sedangkan buah saninten tajam dan di dalamnya ada tempurung yang cukup keras. Buah saninten dapat dogolongkan sebagai buah hutan liar yang tumbuh dihutan-hutan belantara.

10. Tradisi Kokodok Lauk
Tradisi Kokodok Lauk mungkin dapat kita golongkan pada kebiasaan sehari-hari, mengingat si pelakunya merupakan masyaraklat dari semua kalangan dan dari semua usia. Tradisi ini dilakukan tidak secara musiman namun, jika ingin dilakukan tiap hari pun dapat pula dilakukan. Kokodok pada dasarnya hampir sama maksudnya, yakni untuk mencari ikan. Yang membedakannya dari teknik mengambil ikan yang lain adalah bahwa kokodok dilakukan dengan mencari lubang-lubang yang dianggap agem atau baik untuk dihuni ikan. Jika sudah diketemukan maka liang/goa kecil yang dianggap akan ada ikannya akan dikodok atau tangan kita dimasukan ke dalam lobang itu secukupnya untuk mengambil ikan. Ikan yang biasanya didapat dari kokodok adalah ikan lele, ikan belut, ikan nenel, ikan berelut, ikan sarelot, ikan benteur, ikan emas, ikan sepat, ikan mujair, dan jenis ikan lainnya.

11. Tradisi Ngalasan Humut
Ngalasan humut adalah sebuah kebiasaan dan teradisi masyarakat Citorek dalam mengisi waktu senggannya. Tradisi ini dapat digolongkan sebagai sebuah tradisi yang musiman pula, mengingat kebanyakan masayarakat pelakuknya melakukan kegiatan ngalasan humut ini adalah pada waktu-waktu tertentu saja.
Waktu yang biasanya dipilih sebagai waktu yang tepat untuk ngalasan humut adalah pada saat bulan Ramadhan (Shaum), ketika adanya upacara Hajatan, dan upcara-upcara lainya. Dari segi tujuanny ngalsan humut ini adalah mengambil sebagian pohon yang dapat atau bisa dimakan serta tidak berbahaya bagi kesehatan dan tubuh manusia. Biasanya humut (gali) dijadikan sebagai lalap-lalapan dalam tradisi makan di tatar Sunda.
Tumbuhan yang bisanya diambil humutnya adalah pohon aren (Kaung), pohon kelapa (nyiur), pohon bimbin, tumbuhan bubuay dan lain sebagainya.

12. Tradisi Paimahan Lauk
Tradisi paimahan lauk dalah sejenis teknik mengambil ikan di sungai-sungai yang biasa dilakukan oleh masyarakat dari semua kalangan dan usia. Paimahan secara maknawi dapat diartikan sebagai perumahan. Maka dapat kita ambil definisi bahwa paimahan lauk dalah perumahan ikan. Artinya masyarakat dalam menjaring ikan dengan cara menggunakan teknik membuat rumah-rumahan untuk ikan bersembunyi.
Paimahan bisanya dibuat disungai-sungai yang cukup besar dan mengambil tempat yang tidak begitu deras, bahkan sama sekali tidak deras. Bahan dalam pembuatannya, amatlah sederhana, yakni dengan hanya membuat tumpukan-tumpukan batuan di dalam sungai di bagaian yang dianggap paling dalam sebagai tempat untuk ikan bersembunyidari segala gangguan. Jika sudah sekitar 1 (satu) sampai 2 (dua) bulan, maka biasanya paimahan akan segera dibongkar dan diambil ikannya yang sudah terjebak di dalam paimahan.

13. Tradisi Marak Lauk
Marak adalah salah satu teknik pengambilan ikan disungai-sungai terutama pada bagdan sungai yang dianggap banyak ikannya dan tidak berarus air deras. Tradisi jenis ini bisanya dilakukan oleh lebih dari satu atau dua orang, bahkan bisa mencapai puluhan orang apabila Marak badan sungai yang besar dan dianggap sebagai tempat bersemnayamnya ikan yang banyak.
Marak selalu menggunakan buwu sebagai alat Bantu menangkap ikannya, selain utu juga digunakan saringan yang bisanya disebut sair. Marak bisanya membendung bagian sungai yang berarus lemah serta mengurangi air yang ada untuk memudahkan penangkapan ikan. Air yang sudah dibatasi oleh tanah atau sejenisnya dengan tujuan menghindari adanya kebocoran air akan di tawu (dibuang) dengan menggunakan peralatan yang secukupnya hingga air dalam lingkaran menjadi surut. Pada saat air sudah surt maka dapat dikatakan sudah siap untuk menangkap ikan.

3.4.3.3 Permainan yang Dikategorikan Tradisi
Selain tradisi-tradisi yang telah diuraikan di muka, maka beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat Citorek. Permainan meruapakan sebuah corak dan bentuk afresiasi masyarakat dalam membina kehidupan bermasyarakat, sebagai masyarakat pedesaan yang bersahaja yang memiliki karateristik.
Dalam uaraian berikut peniulis mencoba untuk menguraikan beberapa permainan yang sudah memasyarakat dan bersifat turun –temurun dari kenerasi-kegenerasi, hingga dianggap sebagai sebuah tradisi, dianataranya adalah:

    1. Tradisi Permainan Tumpak Gorobag/Padati (Pedati)
Tradisi permainan tumpak gorobag (grobag) atau biasa disebut pedati, merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Permainan ini secara turun temurun dari tiap generasi dan hingga kini masih dapat dilihat dalam perilaku masyarakat Citorek.
Pedati atau grobag yang dimaksud di sini berbeda dengan grobag atau pedati yang kita kenal di perkotaan. Diperkotaan pedati atau grobak biasanya berbentuk segi empat untuk tumpangan barang atau bahkan jasa angkutan dan biasanya ditarik oleh manusia atau hewan seperti kuda dan sapi. Sedangkan untuk pedati atau gerobag yang ada dalam masyarakat Citorek adalah grobag yang dibuat sederhana dan digunakan untuk tumpangan anak-anak yang suka bermain dengan menggnakan grobag, dapat pula grobag atau pedati inin dianggap sebagai pengganti sepeda bagi anak-anak desa saat mereka belum mengenal sepeda atau kendaraan sejenisnya.
Grobak yang digunakan bermain oleh anak-anak Citorek adalah gerobak atau pedati yang terbuat dari kayu dan bambu. Roda yang digunakan untuk pdati terbuat dari kayu gelondongan yang dibuat tipis meyerupai ban mobil dan beroda empat. Tempat duduk sebagai jok dalam grobak atau pedati ini terbuat dari bahan bambu. Sedangkan untuk bahan gardan dan sasis terbuat dari bahan kayu yang cukup kuat. Jangan kita sangka jenis kendaraan tradisi anak Citorek ini tidak memnggunakan oli, oli digunakan dalam, kendaraan ini untuk melincinkan putaran roda dalam gardan kendaraan. Oli yang dugunakan dibuat sendiri yakni dati hasil sadapan getah pohon karet yang dikeringkan secukupnya lalu dicampur dengan minyak tanah dan selanjunya aduk-aduk hingga minyak dengan getah karet menyatu. Cara menggunakannya dalah dengan cukup hanya memoleskan oli tersebut kebagian putaran roda dengan gardan pedati.

    1. Tradisi Permainan Manyer Kolecer (Kincir)
Tradisi Permainan Kolecer (kincir) ini merupakan sebuah tradisi yang dapat dikategorikan sudah sejak lama ada dan tidak dapat diketahui kapan munculnya tradisi tersebut. Hal yang paling umum dalam tradisi ini adalah adanya suara kolecer (kincir) yang bersuara bermacam-macam. Ada sebuah istilah bahwa suara kolcer itu sangat Indah, sebab ada suara nyeguknya.Bentuk fisik kolecer tersebut sebenarnya sangat sederhana, namun pada dasarnya sulit dalam proses pembuatannya. Kerumitannya yang paling urgen adalah prinsip keseimbangan dalam membuat bentuk kolecer/kincir itu sendiri. Bahan yang digunakan biasanya dapat dari bahan kayu dan dapat pula menggunakan bambu. Yang paling umum adalah penggunaan bahan kolecer / kincir dari kayu (pohon).
Masyarakat penggemar kolecer biasanya dari semua usia mulai dari anak-anak hingga orangtua. Anak-anak biasanya menggunakan kolecer yang dibuat dari bahan bambu, sedangkan kolecer yang dibuat dari bahan kayu/pohon bisanya digunakan oleh orangtua. Dalam hal ini dapat dimaklumi, karena memang sesuai dengan tingkat kesulitan dan kerumitannya dalam proses pembuatannya. Hingga saat ini tradisi manyer kolecer masih bertahan dan masih digandrungi oleh semua kalangan di tengah masyarakat Wewengkon Citorek.
Istilah manyer kolecer adalah sebagaimana bentuk fisiknya, kolecer yang sudah dibuat akan dipasang di atas tiang yang dibuat dari potongan batang bambu. Intinya pamanyer (tiang Pemancang) dalam bahasa Indonesia biasa disebut tiang Kolecer (tiang kincir).

3) Tradisi Permainan Kekeboan
Permainan kekeboan atau bermain kerbau dilakukan oleh anak-anak sebagai pengganti mainan lain. Mainan kebo-kebioan ini diabuat dari pelepah phon kelapa yang masih berwaran hijau namun sudah tua. Pelepah akan dipotong-potong sekitar 15 cm panjangnya dan direka-reka. Bagian belakang lebih besar dan bagian depan lebih kecil atau lebih lancip. Bagian depan dianggap sebagai kepala kerbau. Setelah pelepah disipkan, maka yang berikutnya adalah pembuatan tanduk kerbau. Tanduk kerbau ini dibuat dari tempurung kelapa yang keras. Setelah tempurung dipasangkan apda bagian pelepah yang telah dipotong dan direka tadi maka jadilah mainan itu sebagai mainan kerbau (permaianan kerbau-kerbauan). Selanjutnya anak-anak pemilik kerbau-kerbauan siap beraksi.

  1. Tradisi Permainan Kucing-kucingan (Aro-aroan)
Permainan ini sejak lama telah ada dalam masyarakat Citorek. Permainan jenis ini dilakukan oleh anak-anak dan remaja. Permainannya memerlukan banyak anggota, dan biasanya dilakukan pada saat mereka beremain disungai atau pada saat sore hari ketika orangtua mereka baru tiba dari sawah dan ladang.
Permainan ini menggunakan sistem tuduhan “aro” (gatal) maka yang dituduh aro atau gatal tadi akan mengejar-ngejar anggota lainnya untuk memindahkan gatalnya. Jika salah satu anggota dari permainan ini sudah tertular maka si tertilar akan kembali mengejar yang liannya. Begitulah terus permainan ini dilakukan dan berlamngsung hingga ada kesepakatan antara anggota untuk berhenti atau menghentikan permainan ini.

  1. Tradisi Permainan Susumputan (Petak Umpet)
Permainan ini barangkali tidak jauh beda dengan daerah lainnya di masyarakat suku Sunda. Permainan petak umpet ini dibagi menjadi dua kelompok. Dari masing-masing kelompok biasanya terdiri dari beberapa orang. Sebelum petak umpet dilakukan maka terlebih dahulu diadakan kesepakatan antar kelompok mengenai aturan permainan.
Konsepnya dalah satu kelompok akan bersembunyi dan tiap anggota bersembunyi secara menyebar. Jika tempat perembunyiannya telah diketemukan dan seluruh anggota telah diketemukan pula, maka selanjutnya dalah giliran kelompok berikutnya untuk bersembunyi. Begitulah selanjutnya permainaan tersebut dilaukan.

  1. Tradisi Permainan Kasti
Permainan kasti ini sudah merupakan permainan yang bersifat nasional, bedanya dengan masyarakat Citorek adalah bahwa masyarakat Citorek sebagai pelau kasti bersifat terbatas yakni, hanya anak-anak dan remaja belaka dan bahan bola yang digunakan pun tergolong sederhana, yaitu terbuat dari buah jeruk yang sengaja dibuatkan untuk dijadikan sebagai bola dalam permaianan kasti yang mereka lakukan.


  1. Tradisi Permainan Congklak.
Permainan ini meruapakan permainan yang cukup unik namun memerlukan perhitungan yang matang pula. Permainan congklak ini akan berlangsung antar kelompok. Bahan congklak terbuat dari kayu kecil. Congklak anak dan congklak induk.

  1. Tradisi Permainan Gobag (Cipek).
Permainan ini dilakukan kebanykaan oleh anak-anak wanita. Permainan yang satu ini tergolong sebagai permainan yang banyak menarik kaum wanita. Permianan ini bisa dilakuka oleh satu atau dua orang dalam satu kelompok.
Sebelum permainan dilakukan, terlbih dahulu anak-anak akanmembuat garis sebagai sarana bermaian gobag atau cipek. Tiap kotak berukuran sekitar 60x60 cm yang berfungsi sebagai injakan bagi si pemain. Jika dari salahsatu anggota atau kelompok ada yang menginjak garis saat bermainan maka dianggap mati dan selanjutnya akan diselang oleh lawannya. Diselang maksudnya adalah digantikan dan lawannya hars menunggu pula hingga lawannya yang sedang bermain cipek dapat dianggap mati permainannya.

  1. Tradisi Permainan Bebentangan.
Permaian bebentangan merupakan permainan anak-anak yang memerlukan banyak anggota antara 10 smpai 30 orang. Permainan ini biasanya anak-anak akan saling berpegangan tangan dengan sangat kuat dan melingkar. Satu orang yang berdiri di tengah dilingkari oleh anak-anak yang lain dianggap sebagai bentang yang harus menabrak pegangan yang lain hingga terlepas. Apabila telah terlepas maka ia akan menggabungkan diri berpegangan tangan dengan yang lainnya dan sebagai pengganti bentangnya adalah yang berhasil dilepaskan pegangan tangannya pada saat si bentang menabrakkan badannya tadi. Demikia permaianan itu terus berlangsung.

  1. Tradisi Permainan Pane.
Permainan ini termasuk ke dalam bentuk permainan anak-anak. Permainan pane dapat dibagi menjadi dua (2) yaitu pane kecil dan pane besar. Teknik permainan ini adalah melindungi batu yang dianggap sebagai beneteng pertahanan. Kelompok yang melindungi benteng akan berusaha keras agar musuhnya tidak dapat menjangkau atau bahkan menyentuh benteng yang mereka lindungi. Apabila ternayata musih dapat menyentuh benteng (pane) tersebut maka dapat dianggap kalah. Dan selanjutnya giliran kelompok lainnya yang akan bertugas mengalahkan kelompok berikutnya yang melindungi benteng.

  1. Tradisi Permainan Galah.
Permainan galah merupakan permainan yang berkelompok. Permainan ini menggunakan garis segi empat di dalamnya terdapat beberapa garis dan ruang yang membentuk kota-kotak. Kelompok pertama adalah kelompok yang bertugas menjaga garis. Sedangkan kelompok kedua bertugas untuk melewati garis yang dijaga ketat oleh kelompok lain. Jika pada saat melewati garis ternyata dapat disentuh oleh penjaga garis makadengan hal itu dinyatakan kalah.
Penjaga garis dibagi menjadi beberapa bagian dengan nama yang berbeda sesuai dengan fungsi penjagaannya itu sendiri. Berikut adalah anama-nama penjaga garis, yakni.
  1. Penjaga serepet.
  2. Penjaga Pangasinan.
  3. Penjaga Gelandang:
    1. Gelandang 1
    2. Gelandang 2
    3. Gelandang 3
Perlu diketahui bahwa jumlah gelandang tidak terbatas. Banyaknya gelandang bergantung pada jumlah anggota yang ikut permainan. Apabila anggota permainan banyak maka gelandang aklan banyak pula. Gelandang bertugas menjaga garis tengah.




  1. Tradisi Permainan Damdas.
Damdas merupakan jenis permainan yang mirip dengan permainan catur. Permainan ini dimainkan oleh dua orang. Saat melakukan permainan ini diperlukan alas yang cukup untuk mebuat petak dan garis sebagai lintasan bagi pasukan dalam permainan. Yang pasti permainan damdas mirip dengan catur hanya bedanya terletak pada garis lintas dan bentuk papan permainan serta jenis pasukannya juga tentunya aturan jauh berbeda pula.

  1. Tradisi Permainan Riri Jamuri
Permainan ini dapat dialakukan oleh banyak anggota permainan. Anak-anak yang akan bermain permainan ini terlebih dahulu akan menentukan dua orang yang disebut sebagai kucing dan satu orang lagi disebut sebagai ayam. Setelah menentuan hal ini maka kelompok akan melingkar atau membuat lingkaran dengan dengan pegangan tangan yang kuat.
Si Ayam akan lari karena dikejar oleh kucing. Saat itulah kelompok yang membentuk lingkaran dengan pegangan tangan akan bernyanyi memanggil-manggil ayam yang sedang dikejar-kejar oleh kucing untuk diselamatkan. Nyanyian yang biasa dinyanyikan oleh anak-anak kelompok anggota melingkar adalah sebagai berikut.
Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok!
Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok!
Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok!
Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok!
Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok!
Riri jamuri, jamuri jamu naon. Kurrrrrrrrrrrrr..! Kotok!
Pada saat mereka sedang bernyanyi itulah si ayam akan tiba dengan dikejar-kejar oleh kucing. Si ayam akan masuk dalam lingkaran setelah diberi jalan oleh lingkaran tadi untuk dislematkan. Dan si kucing selalu berusaha untuk masuk dalam lingkaran. Apabila si kucing berhasil masuk lingkaran, maka si ayam akan secepatnya dikeluarkan dari lingkaran untuk berlari. Jika si kucing sudah ada dalam lingkaran maka ia ingin keluar namun selalu dijaga ketat oleh lingkaran tadi.

  1. Tradisi Permainan Main Kaleci.
Permainan tradisional ini pada dasarnya sudah merupakan tradisi bagi masyarakat secara global termasuk masyarakat Citorek. Yang menjadi embeda dalam permainan Kaleci pada masyarakat Citorek adalah jenis klerengnya, yakni jenis klereng yang dugunakan dalam permainan kelreng oleh anak-anak Citorek berasal dari buah gompong yang sudah matang dan berwarna hitam atau kecoklatan. Buah gompong bisa didapatkan dihutan-hutan sekitar Citorek.

  1. Tradisi Permainan Jajangkungan.
Tradisi ini bukan haya dilakukan oleh anak-anak Citorek belaka, namun sebagian besar suku-suku bangsa di tanah air mengenal permainan jajangkungan ini. Permainan ini merupakan permainan yang cukup beresiko mengingat faktor ketinggian bambu yang digunakan sebagai pijakan dalam jajangkungan. Bambu yang sudah dibuat jajangkungan akan dinaiki dan orang yang menaikinya akan berjalan mengunakanbambu itu. Maka permainan ini disebut sebagai permainan jajangkungan.

  1. Tradisi Permainan Beklas
Perminan beklas pada anak-anak Citorek tidaklah lazim seperti pada anak-anak diperkotaan. Pada anak-anak Citorek permainan ini menggunakan batu-batuan yang dipilih secara sengaja. Batu-batuan itu mereka pilih di sungai saat mereka mandi bersama.fgdsufgdufdufhdufh

Selasa, 26 Februari 2013

H.Ade Sumardi, SE. Pituin Citorek: NITIS NGAWANCI Pilkada 2013 Kab. Lebak

Nitis Ngawanci: H. Ade Sumardi

Cur  pulung Mandala Agung
Mandala Sastrahing Jendra
Mandala Hayuning Ratu
Mandala Pangruwating Diyu
Mandala Jatining Rasa

Geus ngucur jati rahayu
Jati langit lohing Mahfud
Nitis Bumi Lohing Jinawi
Nitis sumereping ati
Ati kula ati Putu Citorek
Matarema insun-Sukma
Ati Rasa nu sajati
Nu ngancik na jero diri

Pur ngempur cahyaning jati Ade Sumardi
Nu ngebrak gilang gumilang
Nu hurung jero kukurungan

Pur ngempur Mandala Agung
Cahyaning gilang gumilang
Nu nyaangan pawenangan

Sastrahing Jendra, Hayuning Ratu
Pangruwating Diyu, Panggumulung
"Keunupayakeun" Mandala Jati
kana "Kunpayakuning" Mandala Agung

Rep rerep sumere-hing
Gumulung nyarungsum balung
Tis nitis tumitis-hing Jendra
Hayu-hing Ratu
Pangruwat-hing Diyu
Nyurup Ngamanusa "Putu Citorek Sajati"
Dina tangtungan Khalifah.

Khalifah Wewengkon Kadipaten Lebak
Bral.... Bral.... Bral ....
Pidu'a Incu Putu Pangawinan Nyarengan...
Amin ya Robbul'alamiin....

        Kintunan Jabrig Parigi-Citorek