Selasa, 26 November 2013

Pemuda dan Masa Depan Pertanian Citorek




Sejarah bangsa ini tidak lepas dari kiprah sosok pemuda, perjuangan memperebutkan kemerdekaan hingga mempertahankan kemerdekaan merupakan bukti eksistensi pemuda. Lengser keprabon Presiden Soeharto pun diwarnai pendudukan Gedung DPR/MP
R oleh puluhan ribu pemuda, aksi-aksi protes terhadap kebijakan pemerintah di masa kini pun juga banyak melibatkan pemuda, maka sosok pemuda tidak boleh dipandang sebelah mata.


Lantas bagaimana peran pemuda di desa-desa yang berada di Wewengkon Citorek yang terdiri dari lima desa terhadap pertanian? Perkembangan zaman yang menyebabkan pembangunan disana-sini tak pelak menimbulkan residu-residu pembangunan berupa masyarakat yang termarjinalkan secara sosial maupun ekonomi. Para petani yang tadinya memiliki sawah banyak yang menjualnya karena adanya alih fungsi sawah menjadi infrastriktur jalan maupun rumah, adanya land grabbing serta himpitan ekonomi membuat makin banyak petani yang lahannya makin sempit bahkan tidak memiliki lahan yang selanjutnya kemiskinan pun menghinggapi mereka yang banyak bekerja di sektor pertanian.


Eforia sumber keuangan masyarakat Wewengkon Citorek makin menjadi-jadi hingga mereka lupa pada pentingnya sawah dan ladang yang selama ribuan tahun telah terbukti mampu dijadikan sumber penghidupan bagi masyarakat. Berprofesi sebagai pemuda yang bertani seolah tidak lagi menjadi kebanggaan, pemuda lebih banyak memilih segala sesuatu yang dapat dijadikan uang secara instan. Kebanyakan mereka lebih memilih menjadi penambang tradisional ketimbang mengurus sawah dan ladang, bahkan banyak diantara mereka menjual sawah dan ladangnya karena dianggap merepotkan. Mereka berfikir bahwa, dengan memiliki banyak uang yang didapat dari hasil tambang tradisional (gurandil) sudah cukup walaupun tidak punya sawah.
Para pemuda tani pun enggan untuk terjun ke sawah (jika pun ada jumlahnya minim), hal ini dikarenakan hasil dari sawah kurang menjanjikan di mata mereka, dan pertanian hasilnya tidak dapat dinikmati langsung, butuh waktu untuk menunggu. Belum lagi kondisi desanya yang jauh dari infrastruktur memadai, pembangunan yang dilakukan tidak mendukung pada peningkatan ekonomi masyarakat tani, hal ini pun menjadi penyebab mereka enggan menekuni profesi sebagai petani, bahkan banyak dianataranya hengkang dari desanya.


Saya pernah mendengar, seorang sosiolog dari Belanda Ben White dalam kuliah umumnya pernah berkata bahwa tahun 1970 an di pedalam Indonesaia, khususnya Jawa Barat, pemuda banyak yang bangga mejadi petani, stiap hari mengolah sawah dan ladang untuk mengais rejeki sebagai sumber penghidupan. Hal ini tentu sudah berbeda dengan masa kini, jumlah sawah di Wewengkon Citorek yang kiat menyusut dan juga kecenderungan pemuda memilih profesi sebagai penambang tradisional (gurandil) dan menganggap sawah dan ladang tak lagi penting di mata mereka. Jika kita bijak, maka sebaiknya profesi bertani harus kita pertahankan sebagai sumber utama dan mencari rejeki selain dari tani kita jalankan, semisal menjadi penambang tradisional (gurandil). Mungkin diantara sekian pemuda masih tetap ada yang melakukan keduanya, yakni ketika selesai melakukan pekerjaan di asawah dana ladang mereka menyempatkan diri untuk mengais rejeki ditambang tradisional menjadi “kuli” atau yang biasa disebut “pamahat” . saya mengkhawatirkan jika pertanian ditinggalkan pemuda, yang ada adalah para orang-orang tua yang masih setia mengayunkan cangkul di lahannya sembari menunggu “pensiun” tiba. Tentu hal ini merupakan persoalan sosial, jika tidak ada pemuda yang terjun ke sawah, lantas siapa yang akan menjadi generasi penerus dari petani-petani tua tersebut?


Salah satu hal yang sederhana yang perlu dilakukan adalah menanamkan pada diri anak-anak kecil yang kelak jadi pemuda untuk mencintai dan menggeluti dunia pertanian. Sangat jarang ditemui orang tua yang menginginkan anaknya jadi petani, sehingga dari kecil hingga pendidikan tinggi bahkan mencari pekerjaan pun “didikte” orang tua untuk menjadi yang lebih dari sekedar petani, termasuk bagi orang tua yang petani sekalipun. Lulusan SD seolah tak perlu masuk SMP yang penting bisa menjadi “pamahat” lulusan SMP pun sama halnya, termasuk lulusan SMA. Bahkan yang melanjutkan sekolah, minat di pertanian masih kalah banyak dibandingkan dengan minat ke program studi yang lainnya. Sekolah-sekolah kejuruan dengan basis pertanian pun juga sepi peminat. Hal ini sungguh ironis mengingat sejak kecil di SD ditanamkan bahwa Indonesia adalah negara agraris. Sudah seharusnya hal ini menjadi masalah kita bersama sebagai masyarakat Wewengkon Citorek agar sektor pertanian khususnya petani menjadi profesi yang mensejahterakan, kebanggaan, keahlian dan tak kalah gengsi.


Kegiatan land reform oleh pemerintah perlu dikembangkan, agar petani-petani yang tadinya tidak punya lahan menjadi punya lahan. Insentif berupa keringan pajak bagi tanah sawah perlu dilakukan, beasiswa-beasiswa bagi pemuda yang minat ke pertanian dan bekerja di pertanian perlu digalakan.


Tidak ada komentar: