Sabtu, 07 Desember 2013

Partitur Exsaminadus: Cimadur yang Luruh

Dulu jernih, kini keruh dan perih


Mengalir, mengalir, mengalir. Berarus semampai meliuk dicelah bukit dan gunung melewati ngarai dan celah, terkadang menurun lalui air terjun. Jernih masih rupamu. Dari hulu mengalir, sawah dan empang beriak ikan kegirangan paokan air cukup dan bersih. Masuk ke perkampungan, anak kecil mandi berteriak kegirangan berloncatan ditiap tampian, ibu-ibu berdendang dengan bakulnya yang berisi beras merah dan putih, menggesoh hingga bersih. Selanjutnya kompan minum hingga penuh untuk mengisi koci dan termos. Nanti bias menyeduh segelas susu untuk anak dan menyedeuh secomplong kopi bapa yang cape usai bekerja seharian di sawah dan kebun.

Pemuda dan orangtua ramai di tiap tampian memainkan hobi menarikan ikan-ikan emas yang berliuk indah menyambar pelet-pelet yang lezat. Cimadur memberikan arti terdalam bagi gadis-gadis kecil mau berangkat mengaji sore, mandi dan mengambil air wudlu, sambil mencuci pakain kotor, Cimadur, insfirasi ruhani. Saat subuh, penduduk telah ramai menyapa Cimadur sekedar mandi, cuci pakaian, ambil wudlu, cuci piring, yang paling penting mengisi kompan dan jerigen dengan air bersih jernih, Cimadur.

Cimadur memberikan bukti peradaban Citorek yang makmur. Subur sawah, panen melimpah. Bersih airnya ikan melimpah. Saat kemarau menghampiri, kita tak pernah kenal kekeringan. Sebab Cimadur air melimpah. Betapa indah, damai, subur “gemah ripah loh jinawi” Citorek saat itu. Saat air begitu melimpah, lingkungan alam terjaga, jarang ditelinga terngiang bencana. Ikan memas, udang, menga, partay, mayo, beunteur dana segala jenisnya dapat hidup dan beranak pinak karena air Cimadur. Cimadur jernih, terlihat ganggang, apu-apu, kerikil, batu, pasir, ikan, kepiting dan udang telihat mata sedap memandang. Siang malam penduduk tak khawatir menggunakan air Cimadur untuk mencuci pakaian dan alat-alat dapur, mandi serta mencuci beras. Hutan belum ada yang gundul hingga cadangan air melimpah.

Saat ini Cimadur sakit dan luruh, akibat keserakahan manusia. Hulu Cimadur dirobek-robek bahkan dihancurkan, kebeningan Cimadur diracuni. Nafsu serakah manusia telah nyata menyakitkan. Menghancurkaan Cimadur dengan segala isinya, Cimadur hancur berarti peradaaban Citorek tinggal tunggu waktu akhir. Dadaku sesak saat melihat Cimadur mengalir dengan warna kecoklatan kental sambil memberikan senyum kecut dengan bau yang tak sedap, pesannya amat jelas. Cimadur luruh, Cimadur hancur, Cimadur akan hilang dan peradaban Citorek menuju akhir. Hutan sumber airnya dirusak, dihancurkan dan diracuni, tak lagi terdengar senandung riuh anak kecil mandi di Cimadur, tak lagi terlihat katel-katel, kompan-kompan yang berisi air Cimadur. Kalaupun ada terpaksa walapun harus bertaruh nyawa. Bisa keracunan karena mengkonsumsi Cimadur.

Betapa serakahnya manusia, Hutan berubah jadi gurun gersang dan Cimadur luruh kecut membawa beragam jenis racun. Tak aman untuk dimanfaatkan penduduk. Cimadur dulu sumber kehidupan, cimadur kini sumber kematian. Cimadur akan menyaksikan sekaligus bukti peradaban Citorek yang bermula hingga menuju kehancurannya. Cimadur hanya mengalir lirih tanpa member makna pada penduduk yang dilewatinya, nampak ia enggan menyapa dengan segala kejernihannya, Cimadur menjadi bukti Caturangga para pendahulu, “Cimadur kan hilang bersama pradaban Citorek”.

semoga ini menjadi bahan pemikiran kita bersama dalam menyelamatkan lingkungan. Menyelamatkan lingkungan berarti mempertahankan kehidupan, ketika kehidupan tak mampu bertahan maka perdaban akan hancur.

Tidak ada komentar: