RaJutan TERLarang
Oleh Mulyadi’S
Banyak kumbang yang hinggap
di atas klopak-klopak bunga di kebun keremangan jaman, tanpa dan tidak melihat,
putaran waktu yang mengusung keremangan, menuju celah-celah pagar yang ditembus
cahaya. Saat cahaya makin terang, keremangan pun sirna, sang waktu telah menetapkan. Membuka tabir kedok keropos dalam kancah perhelatan
hidup anak manusia yang menyeringai penuh ambisi durja.
alam hembusan angin, daun-daun tua jatuh berguguran dan tergantikan
tunas-tunas muda. Helai-helai daun tua berserakan kering di bawah teduhnya pepohonan yang
rindang. Daun tua sudah jatuh dan sebentar lagi menjadi humus lalu habis
dimakan cacing-cacing tanah yang mulai melenggok ke arah lingkaran dedaunan tua
di atas tanah basah.
Cacing
betina muda yang terpesona daun tua, kegirangan penuh harap akan adanya
kesuburan dari daun tua itu. Apa boleh dikata, daun tua disuka cacing betina
muda. Sebaliknya, daun tua yang hinggap di atas tanah basah lembab butuh
kehangatan apitan cacing betina muda. Tanpa adanya konsleting aliran
moral dan tiada halangan jauhya usia, bahkan tanpa malu pada keriput wajah yang
sudah mulai digerogoti usia. Jadilah sebuah skandal dalam lembaga
pendidikan “negara”. Cinta tidak
pernah memandang status dan kelas sosial bahkan terkadang cinta membuat
laki-laki atau perempuan lupa, jika di rumahnya ada yang menantinya. Berharap
suami atau istri dan keluarga tercinta segera pulang.
Roda
waktu dan peradaban selalu menjadi hakim yang paling menentukan. Di awal
menjadi singa liar yang haus pada darah. Menyeringai, mengaung dan menerkam
pihak-pihak yang tak ia suka. Ada
atau tiada sebuah alasan yang patut. Cukup untuk diterkam dan cukup
dilumpuhkan. Selanjutnya dibiarkan terkapar. Ini sudah cukup memberi kepuasan
bagi batinnya. Mungkin dunia kehidupan alam rimba memberikan sebuah keleluasaan
bagi Singa untuk dapat bisa dan dengan amat mudah untuk menjadi raja dari
belantara kesumbingan watak dan perilaku menyimpang dari kelaziman hidup yang
normal. Kawanan Singa telah menjadi
sebuah ambisi penguasa di dalam kehidupan yang penuh ambisi puritan yang latah
kaku.
Bukankah kita
tidak menafikan? Jika Singa pun hidup dengan cinta...!? Sang Raja
di belantara ini sering kita jadikan sebagai peribahasa dalam percaturan
kemuraman dan kebingaran waktu dan kehidupan manusia. Pepatah mengatakan
“sekejam-kejamnya Singa atau Macan, masih punya rasa cinta dan kasih sayang
untuk anak dan keluarganya”, tapi entah, dengan sebuah pepatah dan peringatan
kepada kita, bagaimana watak seekor Buaya?, secara fisik buaya bermulut besar, pendiam,
berkulit tebal dan karas, berekor panjang, dan kakinya memiliki kuku-kuku yang
tajam, ia mampu meluik-liuk menari di air, ia mampu berlari cepat saat di
daratan. Satu hal yang mesti ingat! Sabetan ekor dan gigitan mulut besar buaya
sangat membahayakan, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Cukuplah ruang waktu dan
rimba belantara sekolah menjadi ajang simulasi Singa yang ingin menjadi raja,
berdampingan dengan sang Buaya yang ingin menjadi ratu panutan dalam rimba yang
sama, dengan ponggawa-ponggawa lapar yang
selalu siap mendukung dan memuluskan ambisi serakah sang Singa dan sang
Buaya.
Sang Singa yang datang
dengan segala ambisinya meraung-raung menggetarkan seluruh ruang. Ia menawarkan
segala kemolekan dan janji di atas segala kerancuan akal. Sebagai Maharatu,
sang Singa tentu memiliki segala trik dan muslihat guna mencapai segala
tujuannya. Ia tiba dengan latar belakang kemampuan lobi menjadi seorang ratu,
bukan karena kemampuannya dalam olah intelek, managmen kepemimpinan, tapi lebih
tertopang oleh dogma-dogma birokrasi.
Dengan anggun sang Singa
berkuasa di atas singgasana panas dan keemasan yang menawarkan segala peluang
pengembangan sayap sebagai sumber rufee.
Hebatnya, ia mampu menyatukan segala visinya dengan kawanan buaya penguasa
lokal yang lapar dan terkapar. Sang buaya dengan girang menyambut segala
peluang yang ditawarkan Sang Singa.
Sungguh naif! semua
peluang dan sumur ladang guna berjalannya roda kerajaan pendidikan dijadikan
sebagai lahan ekspolari bisnis yang
memberikan keuntungan cukup besar. Hanya dengan mengikuti alur pelaporan dengan
segala kefiktifannya dapat mendatangkan segala kucuran rufee. Sumber itu terus mereka kawal dan jaga dengan segala
angkaranya. Sumur emas Beqa’s, Leefs’keol, Nada OBS, DipreEi, Sob NasH, AsWi
bEa, dan sumber lainnya yang jelas sangat mudah dieksplorasi dengan cara
sumbing adalah galian tanah lokal guna memperlebar ruang, dan bahkan ditambah
mIbla aeiR. Semua ladang tetap sebagai sumber dalam memunculkan segala ide dan
ambisi dalam kemulusan kerja sama sang Singa dan sang Buaya sebagai antek sang
ratu.
Dengan segala sumber yang ada, akhirnya makin
kuatlah segala ide konspirasi yang mereka bangun. Pepatah mengatakan ”sebuah
negara akan menjadi besar dan maju apabila memiliki segala sumber penghidupan”.
Tak perlu untuk seluruh rakyatnya, minimal dapat memperkuat para menak,
terlebih menak yang berkuasa semisal sang ratu, Sang Singa, dan sang Buaya.
Masalahnya sekarang, bagaimana dengan kaum yang lemah?
Kaum yang netragon, atau bahkan kaum
yang protagon pada moral kearifan?
Yang dianggap penghalang bagi ambisi sang Singa dan sang Buaya di bawah naungan
sang ratu?. Detak jarum jam sebagai saksi dengan semilir angin yang mengabarkan
bahwa ada hati yang terberai, jantung dengan segala detak dan degupannya hanya
menyimpulkan, jika ada rasa yang memelas ngeri di tengah kebejatan.
”Kaum” itu
hanya sebagai penonton dari sebuah persekongkolan dan cuma ingin mempertahankan
badan, jiwa dan kedamaian hidup mereka. Bukannya tak ingin untuk mengubah
segala kemuraman menjadi kebingaran di atas puncak wibawa, namun apalah daya.
Rantai baja mencekik leher dengan kuat, ikat besi panas melilit di kaki. Nurani dengan kebinarannya hanya memberi
senyuman kulum bersama bibir yang bergumam. “Ya Rabb, Tuhan kami…, lindungi kami dari tangan
besi sang ratu, dari terkaman Singa, lindungi kami dari kibasan Ekor buaya dan
ketajaman gigi dalam mulutnya yang besar dan menganga. Kami hanya ingin
menjalani waktu yang telah tahu akan kodrat hidup kami”.
Di sisi ruang
lain, dalam kawanan buaya seekor buaya jantan memiliki intrik petualangan yang
amat dahsyat. Ia sering beranjak ke darat dan mengubah ujudnya menjadi seekor
kumbang yang mampu terbang dan mencari bunga yang mekar lantas mengisap
manisnya madu kemolekan bunga.
zzz
atma anak
ingusan yang duduk di bangku sekolah kelas IX SMP, wajahnya cantik dan menggoda
tiap laki-laki yang melihatnya. Tubuhnya tinggi dempluk kerap kali
mengundang decakan kekaguman kaum pria hidung belang, bahkan banyak pria
beristri dan sudah beranak pinak yang jadi mabuk kepayang, rela melupakan anak
istri demi menikmati indahnya tubuh Elayat. Jika, pria beranak beristri pun,
sudah mabuk kepayang. Tentu saja, kaum lajang lebih dari pada itu. Ini dapat
dimaklumkan bukan? Karena watak laki-laki memiliki kecendrungan yang angresif
pada wanita.
Elayat duduk di
atas kursi petugas “Juru Tulis” sambil tersenyum simpul membayangkan apa yang
baru saja terjadi sambil bergumam “Oh… pelukanmu membuatku hangat, juluran
lidahmu dan lumatan bibirmu…… oh…. tak kusangka”.
Sehelai
kertas yang lusuh tertinggal di atas meja kerja “Juru Tulis” di ruangan yang
sepi.
“Tunggu di sini, saya masuk kelas dulu
sebentar, hanya tugas kok!” Elayat membaca tulisan di atas kertas lusuh
tadi. Hatinya berdegup dan berbunga.
“Aku tunggu kau sayang…, pasti!” gumam Elayat.
Elayat melihat sekeliling ruangan itu, sepi! Tanpa seorang pun. Semua murid dan sebagian guru
sekolah itu sudah pulang sejak pukul 11.30 tadi. Sebagian guru yang
masih ada di sekolah tetap asyik di ruang komputer, menarikan mouse,
sambil sesekali membuka file Allien Shotter. Tentu saja ruang “Juru
Tulis” tempatnya Elayat menunggu jadi aman.
Lama, Elayat
menunggu kadatangan sang penulis kertas lusuh tadi. Ia paham, jika Aria Cekih
sedang ada jam mengajar di kelas SMU, jam sore. “Aku akan tetap disini sayang,
sampai kamu selesai mengajar anak-anak bodoh itu!” gumamnya.
Nampaknya ia tak
sabar, dada dan jantungnya berdegup kencang. Desakan libido makin kuat
saat ia meremas-remas kertas lusuh. Hatinya terbang berseliara, membayangkan hal-hal yang bakal terjadi,
imajinya dipenuhi dengan segala khayalan romantik, penuh tantangan, dan amat
menggoda.
zzz
epat pukul 15.00
anak-anak SMU berhamburan keluar kelas,
tanpa peduli di sekelilingnya, mereka langsung meninggalkan sekolah dan
sekitarnya, pulang ke rumah. Terlihat Aria Cekih ke luar dari ruangan belajar.
Ia berjalan dengan sedikit terburu-buru, seperti ada yang dikejarnya. Ia langsung masuk ke ruangan “juru tulis”,
dengan langkah kaki yang kerap dan hampir tak terdengar, namun penuh
kehati-hatian. Agar rumput, daun, dan kaca, bahkan tembok tidak curiga. Hingga langkah pun seperti dalam
kelunglaian tanpa mampu menerpa debu lantai.
“Kamu sudah lama menunggu
saya?” tanya Aria Cekih sambil memandang ke arah Elayat dengan sorot mata penuh
harap dan desakan rasa abstrak.
“Tentu, sejak tadi aku
menunggu bapak, eh.... bukan
bapak tapi menunggu kamu!” jawabnya sambil melirik dengan manja seolah
menantang.
Aria Cekih
mendengar jawaban Elayat seperti itu tersenyum kulum, sambil menyimpan sebundal
absensi anak dan duah buah buku pelajaran di atas meja. Ia langsung duduk di
atas kursi di samping lemari dekat Elayat
duduk di atas kursi kayu.
“Kemarilah, duduk di sini!” ajak Aria Cekih,
sambil sedikit menarik tangan Elayat.
Elayat tak mau
menyia-nyiakan ajakan Aria Cekih. Ia langsung menghampiri Aria Cekih yang duduk
di atas matras. Elayat sengaja duduk menempel di samping Aria Cekih. Keduanya
diam, tanpa sedikit suara, hati keduanya melayang pada tiap sudut bunga dengan
deraan nafas yang terengah, dengan deru-deru jantung yang berdegup kencang dan
hampir tak ketentuan. Rasa Elayat makin melayang sambil mengusap-ngusap
pergelangan tangan Aria Cekih.
Di
tengah desah nafas yang terengah, jantung berdegup kencang, dan keheningan
sudut ruangan tepecah suara-suara risik dari mulut yang haus akan kehangatan.
Rindu telah membelenggu dan mengajaknya merengkuhkan kaki dan melingkarkan
tangan pada seluruh tubuh yang berpusar pada dada yang menjulang, menantang.
Wajah keduanya terlihat puas dan lega. Tadi, telah terlepas segala beban yang
menghimpit dalam angan dan jantung. Semuanya lancar, mantap, dan penuh sensasi.
“Hari sudah sore, mari kita pulang!” ajak Aria
Cekih sambil bangkit dari duduknya. Dengan pakaian yang kusut dan tubuh sedikit
panas hingga cukup mengeluarkan keringat.
“Oh,
ia, sudah sore rupanya, ayo kita pulang saja” cetus Elayat, sambil
mengusap-ngusap bibir dengan telapak tangannya, membersihkan bibir, leher, dan
dagu yang masih basah. Tangannya yang kiri mengepuk-ngepuk bajunya yang
kancingnya masih terlepas tepat di dada. Terbersit dalam pikiran Elayat, “Lain
kali lebih baik aku pakai kaos yang setreet dan transparan, supaya lebih
mudah……”.
Waktu terus berputar
dengan rona-rona insan menuju perhinggapannya, mendekati kegelapan petang. Hari
mulai petang dan malam tiba memaksa lembayung sirna diufuk. Lelawa-lelawa mulai
hinggap pada tiap cahaya neon di halaman, dalam rumah, dan di jalanan. Malam
sedikit sunyi, dengan sedikit siraman rintik hujan, seolah ingin menusukan rasa
dingin pada dua hati yang baru saja merasakan “hangat”. Namun, rona detak suara
alam seolah tidak peduli dengan apa yang terjadi tadi siang. Selain menyiratkan
sebuah rajutan-rajutan terlarang di atas mahkota dua hati yang terkafar di
tengah kemolekan dan kebingaran rasa “hangat”.
zzz
atu bulan sudah terlewati, dengan roda
putaran waktu penuh suara-suara gerih ngeri perangai sumbing dan keangkuhan.
Caluk bisu watak durja, dengan rengkuhan dan kenafikan mata batin, tanpa
selembar kaca bening hati. Orangtua Elayat percaya, jika tiap hari selepas
pulang sekolah Elayat kembali ke sekolah untuk sedikit belajar komputer dengan
menarikan mouse di atas meja. Anggap saja semacam kursus atau privat
“terpadu”. Namun lain muka lain cermin. Lain belang lain belalang, cinta
bersemi di saat-saat jam pelajaran, saat waktu seggang seusai sekolah,
memudahkan Elayat untuk berkonsultasi materi-materi eksak yang belum ia pahami. Ya pelajaran sekolah, ya sedikit curhat,
ya tentu kursus “pengalaman sensassional”
orang dewasa yang paling penting, apalagi pemerintah tidak pernah mambuka
lembaga kursus atau pendidikan cinta secara legal. Ini ‘kan sebuah kesempatan emas.
Aria
Cekih seperti biasa menjalankan tugasnya sebagai seorang pendidik yang
professional. Di sekolah tempatnya bertugas, ia merupakan sosok yang penuh
dedikasi dengan loyalitas tinggi. Ia mengaku mampu membawa sekolah lebih maju
tanpa bantuan dari siapapun. Bahkan ia suka beretorika guna memperlihatkan image bahwa ia mampu segala-galanya
sekaligus untuk menyembunyikan segala kelemahan dan keringnya moral. Ia
profesional dalam soal pekerjaannya sebagai pendidik dan soal rufee. Rufee telah melambungkan namanya. Ia gemar mengkotak-katik rufee di
atas administrasi agar bisa mengalir dengan mudah dan dengan sendirinya, akan
mengisi koceknya. Cukup lumayan, hingga rekening di BCA dapat
dengan mudah terisi, dan selanjutnya, cukup mudah mewujudkan harapan buat
membeli secercah cahaya masa depan, juga untuk biaya rengkuhan dan kehangatan Elayat,
yang selalu siap melepaskan segala jerat ikatan, himpitan, pelukan, dan peluh rindu Aria Cekih.
Bagi
Elayat tidak pernah peduli akan anak istri Aria Cekih, yang selalu setia
menanti dan menunggu Aria Cekih di rumah. Rumah sebagai tempat Aria Cekih dan
keluarga berteduh, berkumpul, dan bercengkrama menumpahkan cinta dan kasih
sayang pada istri dan anak tercinta. Sungguh… merupakan saat-saat yang amat
indah dan ketakjuban nurani. Namun, Elayat tidak pernah peduli hal itu, bahkan,
tak peduli pula baginya, walau dijadikan murid empang ‘X’ yang ketiga
oleh Aria Cekih.
zzz
arut dalam ketakjuban pada diri sendiri,
kagum pada lingkungan rumah yang menyanjungnya sebagai anak pertama dari
keluarga yang memberinya makan minum dan tempat tidur, Sumirah, akhirnya bertemu
dengan angkara yang durja, penuh sengatan tajam serangga-serangga penghisap
darah. Sang tuan rumah sebagai bosnya, telah mulai kehilangan kepercayaannya
pada Sumirah, sebagai seorang gadis yang dianggap jujur dan santun. Sang bos
tersinggung dengan prilaku Sumirah, yang mendukung perselingkuhan Elayat dan
Aria Cekih.
Ada kabar dari
elusan semilir angin malam hari yang lirih dan lembut, yang mengabarkan pada
Komba Jarod, bahwa sekian lama dan telah beribu kali Sumirah selalu berbuat
sesuatu yang mengundang decak kagum para hidung belang, menyebar udara panas
dan angkara fitnah dengan hembusan kebejatannya. Kenapa tidak? Banyak suami
istri yang mengalami “gerhana” rumah tangga
karena gangguan sosok gadis ceking kering, Sumirah.
Nampaknya, Komba
Jarod dan istrinya merasa malu dipergunjing banyak orang pada tiap perempatan
jalan, tiap kerumunan para ibu, tiap celotehan dan gelak tawa remaja dan
kaum pemuda, tiap keriuhan aliran sungai tempat mencuci, pada tiap teras rumah,
bahkan pada tiap gang dan jodog yang
sepi.
Akhirnya Komba
Jarod dan istrinya meminta Sumirah untuk hengkang dari rumahnya. Komba Jarod
dan istrinya sudah tidak tahan dengan semua gelagat dan watak Sumirah. Telinga
Komba Jarod sudah panas dan terlalu sering memerah. Istri Komba Jarod sudah merasa
kehilangan muka dan kehormatan. Popularitas dan wibawanya telah cemar di tengah
kegemparan dan kancah prasangka masyarakat sekitarnya. Ia merasa gengsi dengan
segala aib yang menimpanya akibat perilaku Sumirah. Ia sadar akan predikatnya
sebagai sang buaya betina mesti dipertahankan apapun resikonya.
“Bawa! Semua
pakaianmu dari rumah ini! Jangan lagi kau tinggal di rumahku ini! Anak tolol!”
istri Komba Jarod memaki Sumirah dengan mata tajam dan penuh geram.
Sumirah hanya celingukan,
tidak mengerti bahkan pura-pura tidak mengerti maksud perkataan istri Komba
Jarod. Sumirah mengambil pakainnya yang telah terkemas dalam kardus oleh
istri Komba Jarod, ia bermaksud hanya pindah ruangan dalam
rumah itu. Ia turun ke bawah dari lantai atas rumah, tempatnya kemarin malam
tidur dengan selimut kemuraman malam. Ada
senyuman bangga dan ambisi pada malam itu, ketika Elayat menginap sambil
mengungkapkan rasa di dada pada mahkota cintanya. Malam itu ia bersama
kemerduan curhatan Elayat.
Sumirah
mengeluarkan semua pakainnya dari dus dan memasukan semuanya satu persatu ke
dalam lemari kecil di kamar depan rumah orangtua Komba Jarod yang tinggal satu
atap dengan Komba Jarod. Komba Jarod dan istrinya kebingungan, melihat gelagat
Sumirah, mereka menyuruh Sumirah untuk keluar dari rumahnya, bukan malah pindah
ke tempat mertuanya, bodohnya lagi Sumirah malah mengisi kamar depan milik adik Komba Jarod yang lagi kosong karena
ditinggal sang adik sementara sekolah di luar kota.
Istri Komba
Jarod merasa geram dan hati tersengat bara api yang amat panas. Ditengarainya,
Komba Jarod punya hubungan “basah” dengan Sumirah gadis pembantu rumahnya. Ia
makin berpincak amarah, ia berfikir hal itu bisa saja benar. Banyak budak
wanita yang mengandung, menggendong, dan menyusui bayi akibat main basah dengan
sang tuan.
Istri Komba
Jarod nampaknya cukup paham dengan sorot
mata dan senyum kemanjaan Sumirah pada Komba Jarod. Dengan penuh galau
di dada, rasa hampa, jantung berdegup, jiwa serasa terkapar di tengah tatapan
matahari yang menyeringai memuncratkan hawa panas. Istri Komba Jarod dengan
langkah pasti dan kata-kata tajam menyulap Istana Keangkuhan Sumirah menjadi
gadis yang kian telanjang watak perangai aslinya.
Keesokan
harinya, Sumirah yang merasa sakit pulang ke rumah orangtunya sambil bergumam
“Mengapa Ibu Leti Marsi mesti marah padaku? Bukankah aku jadi diriku saat ini
atas petuah dan nasihatnya? Dasar nyonya munafik!”. Sumirah hampir tidak
mengerti, dengan sikap Leti Marsi, sampai dengan tega dan kejam mengusirnya.
Padahal, telah jelas bagi Sumirah, ia di didik dan beri nasihat segala masalah,
mulai dari masalah dapur sampai masalah cinta justru oleh Leti Marsi. Kini,
semua itu telah menjadi kenangan bagi Sumirah. Ia pulang ke rumah orangtuanya
dengan membawa pribadi yang telah dipulas dan dibentuk oleh Leti Marsi.
Sumirah
merupakan gadis blingsatan, penuh garang jalang! Sebagai seorang gadis yang
tinggal dan dibesarkan oleh orang lain sebagai bosnya, tentu pribadinya merupakan pribadi yang dibentuk dan dipola
oleh mereka yang dipertuan oleh Sumirah. Leti Marsi adalah orang yang sangat
peduli terhadap Sumirah. Ia yang mengarahkan dan mencoba membentuk
pribadi-pribadi yang nantinya diharapkan tunduk pada dirinya sekaligus menjadi
sekutu dalam barisannya dalam menghantam orang-orang yang tidak disukai.
Bahkan, jika perlu menghantam semua pihak yang dianggap “musuh” sampai ludes.
Tentunya, mesti dihantam dari berbagai segi.
Leti
Marsi dan Sumirah, yang pada awalnya merupakan relasi dalam urusan penebaran
“udara panas” dan beracun. Mereka punya hoby yang sama dalam hal ini.
Keangkuhan dan kecongkakannya telah menyebabkan banyak hati dan jantung yang
melenguh merasa pedih dan gerih. Entah…. untuk kali ini, saat Leti Marsi dan
Sumirah gadis blingsatan tak lagi ada
dalam satu barisan. Mungkin keduanya masih tetap sebagai penebar “udara panas
dan beracun” namun dalam kubu yang berbeda atau bahkan ada aktifitas lainnya,
yang lebih menantang?, kita tunggu saja.
zzz
iga minggu
berlalu, waktu tidak pernah perduli dengan semua hiruk-pikuk dan kemejaman
penghuni jagat. Seolah ingin terus membiarkan semua insan terus dalam golakan
air hangat. Sulaman-sulaman kain kassa yang halus makin jelas. Aria Cekih
merasa tersinggung dengan diusirnya Sumirah dari rumah Komba Jarod. Aria Cekih
tahu betul, jika Sumirah dan Elayat adalah teman dekat, dan Sumirah adalah
satu-satunya gadis pendukung skandal citanya dengan Elayat.
Situasi sekolah
makin sumbing dan latah, perseteruan Aria Cekih dan Komba Jarod serta istrinya
makin meruncing dan membuat terombang-ambing perogram memajukan pendidikan,
bahkan kian carut marutnya situasi sekolah. Lebih runcing dan penuh kesumat,
perseturuan antara istri Komba Jarod dengan Aria Cekih yang sama-sama berkepala
batu, Aria Cekih berwatak singa, sedang istri Komba Jarod berwatak seperti
buaya betina.
Untunglah
sebagian besar guru tidak pernah peduli pada soal skandal mereka. Guru yang
sekantor dengan mereka selalu berpikir “mata kami tidak melihat semua yang
mereka perbuat, hati kami hanya ingin tenang, mulut kami hanya ingin tersenyum
kulum, dan fikiran kami hanya untuk anak kami di kelas, yang sabar menunggu ibu
bapak gurunya, biarlah si kumbang asyik hinggap dan menempel di atas klopak bunga
yang sebentar lagi akan layu dan membusuk”.
Waktu memang
sebagai hakim yang menentukan segala konspirasi yang dibangun oleh Aria Cekih
beserta Komba Jarod dan istrinya, Leti Marsi. Mereka pula yang selama ini
bersatu dalam ikatan tekad untuk menancapkan kuku-kuku tajamnya di rimba
sekolah, sebagai pihak yang berkuasa dan penuh gerakan bawah tanah dan
berselimut, hingga berujung pada loby
yang mengharuskan sang pimpinan Sekolah mengelurkan kebijakan-kebijakannya yang
melemparkan kebinaran dan kesahajaan nurani dan kemolekan intelektual para
pendidik di luar kelompoknya. Tentu,
agar semua pihak di luar lingkaran “Iblis” yang mereka bangun menjadi
lemah dan tidak bernyali dalam meluruskan dan membersihkan hati dan fikiran mereka. Bagi mereka yang
penting adalah rufee, rufee, dan rufee!.
Kini waktu telah berwajah lain, waktu tak
selamanya berpihak pada penguasa dan diktator seperti mereka. Mungkin, waktu
telah bosan dengan lingkaran “Iblis” dan ingin segera menggilasnya. Apa boleh
buat, mereka pula yang membuka kedoknya sendiri selama ini. Segala liku dan
arus waktu yang telah mereka rancang, simpulkan, dan jalankan dalam komitemen
bersama, akhirnya sampai pada ujung batasnya. Segala kekroposan dan keangkuhan
watak, kebusukan nalar, keserakahan,
serta kelatahan caluk-caluk bisu pribadi koropos mereka, malah dikuak dan
dibuka oleh mereka sendiri. Memalukan!.
Pihak lain hanya tersenyum kulum dengan
belaian dan hembusan sepoi angin lembut dengan kemerduan suara pipit-pipit
jentik di atas bunga warna putih pohon Puspa
yang menebarkan harumnya hati yang bersih dan termahkotai iman. Ketidakgemingan
dan tatapan cakrawala yang hangat dipagi hari dengan bingkai kebeningan embun
di atas dan di ujung bunga dedaunan. Perputaran waktu dan silih bergantinya
musim hanya menitipkan sebuah pesan singkat yang lembut pada tiap penghuni
alam, yang sibuk dengan dengusan nafas dan rengkuhan-rengkuhan barjal
ragawi. Kita hanya menjadi lakon dalam pentas panggung jagat raya dengan
untaian-utaian dan kedipan al-buruj di lengkung layar assamaawaaat
dimalam hari yang gaduh.
zzz
ria Cekih dan Elayat makin damai dalam
kancah kebahagiaan di balik pendidikan dan kursus “terpadu”. Mereka tetap tenang dalam rajutan
perselingkuhan yang penuh kenikmatan di atas kenafikan kasih sayang pada anak
istri dan keluarga. Bahkan pada kesahajaan lingkungan pendidikan.
“Tenglah
Elayat, hubungan kita tetap aman” sahut Aria Cekih pada Elayat, ia
mencoba meyakinkan Elayat.
“Tentu
atuh pak, eh salah lagi, tentu dong! aa, hubungan kita ‘kan selalu aman.
Bukankah kau amat sayang padaku? Dan engkaupun tak perduli dengan anak istrimu,
demi aku ‘kan?”
balas Elayat sambil menatap tajam pada Aria Cekih.
“Wah,
jelas dong! Tentu ah, sayang….! Semu hal, tidak menjadi halangan bagi cintaku
padamu” jawab Aria Cekih dengan tegas.
Mereka saling
memandang, mata mereka saling menatap dengan tajam pada arah lekuk-lekuk tubuh
masing-masing. Sama-sama saling mencari ketakjuban dan rasa yang penuh evik
kemanisan madu.
Dalam
tatapan mata dan sambil bergeser mendekati Aria Cekih, Elayat yang sudah
bergetar, dengan hati-hati ia berkata “Maafin aku, sayang, aku telah merenggut
cinta dan kasih sayang istri dan anakmu”.
Aria
Cekih sedikit kaget, ia langsung memeluk Elayat dengan erat di tengah nafas
yang terengah “Sudahlah… kamu tidak perlu risau dan memikirkan soal bodoh itu,
yang penting, aku kini telah memiliki kamu dan kamupun memiliki aku, tentu
memiliki segalanya sayang…ohhhh”
Larut dalam rajutan-rajutan terlarang. Sulaman cinta
dan rajutan nafsu ambisi cinta yang mereka jalani terus makin jauh hingga pada tapal batas “basah”
berkeringat. Mereka tidak menyadari jika lingkungan dan status mereka membuat
ketidakpantasan sulaman kasih mereka. Kelak waktu akan tampil sebagai sang
hakim pembuka kedok kekroposan insan-insan yang berjalan di atas desah-desah
nafas rengkuhan dalam polesan keangkuhan dan kelaliman nilai moral dan
kekosongan mahkota ruhani. Matahari dan kemejaman waktu akan merobek rajutan
cinta mereka.
Nampaknya
kelelahan mulai hinggap pada tiap dada dan keangkuhan waktu, hingga tiap
rajutan cinta kasih selalu memaksakan pada tiap sela hati, yang membuat hati
wanita-wanita lembut yang setia menanti sang suami pulang tergores luka, hingga
menganga dan terkelupas kepedihan abadi.
Banyak
kumbang tua yang hinggap di atas klopak-klopak bunga di kebun keremangan jaman,
tanpa dan tidak melihat putaran waktu yang mengusung keremangan menuju
celah-celah pagar yang ditembus cahaya. Saat cahaya makin terang, keremangan
pun sirna.
Terlihat amat jelas, klopak bunga telah layu
terkelupas tanpa daya. Sang kumbang mengiung dengan getaran
sayapnya. Ingin kembali terbang, setelah
kenyang menghisap madu bunga. Entah
kembali pada sangkar, tempat keluarga tecinta menunggu, entah terus
berpetualang dan berseliara, di taman-taman kebun yang bebas dan luas. Kebun-kebun
yang dipenuhi bunga-bunga segar dan baru saja mekar, dengan keharuman yang
dibawa hembusan angin hingga harumnya menusuk naluri
Ayat hujan mengabarkan, “Bunga bermekaran, dengan
segala damba dan keharumannya, kumbang pun kebingungan dengan segala ambisi dan
angkaranya”. Kesumbingan raut hati dalam
degup-degup jantung yang bengis dengan sorot mata dan kata-kata murka telah
berlalu dengan segala kodratinya, bagaikan air sungai yang mengalir hingga di
ujung muara. Sang waktu ternyata telah menghunuskan pedangnya. Pedang terhunus,
akhirnya terkibaskan pada tiap butir debu yang kropos. ”Pass saatnya nanti
.......”
zzz
a
Allah.... ya Rabbi..., jangan tinggalkan aku, jangan Engkau bengkokan hatiku
ini, tuntunlah hatiku ya Allah, agar selalu kunikmati setiap hari-hariku dalam
mengabdikan segalanya untuk anak didikku di sekolah. Ya Allah patrikan dalam
hatiku agar memuliakan siswa menjadi filosofi pelayanan hidupku. Amiin.......
--------------- Tamat Bae lah----------------
Kisah ini diambil dari kisah nyata dalam kehidupan seharai-hari. Jalan cerita
disesuaikan dengan pandangan dan pendapat penulis terhadap lingkungan dan para
pelaku seperti Elayat, Sumirah, Aria Cekih, Komba Jarod, dan Leti Marsi.
Seluruh pelaku adalah orang yang dikenal oleh penulis. Gaya cerita secara logis dan sedikit
pengembangan tema dengan bahasa langsung dan terkadang menggunakan bahasa imajinasi.
Unsur EVIK sengaja dimunculkan,
agar kita sebagai pembaca dapat mengetahui ujung masalah dalam cerita ini. Unsur “Harta, Tahta, dan Wanita” pada dasarnya sebagai
sumber utama dalam tulisan ini.---Citorek,
Des’07---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar