Sejarah bangsa ini
tidak lepas dari kiprah sosok pemuda, perjuangan memperebutkan
kemerdekaan hingga mempertahankan kemerdekaan merupakan bukti
eksistensi pemuda. Lengser
keprabon
Presiden Soeharto pun diwarnai pendudukan Gedung DPR/MP
R oleh puluhan
ribu pemuda, aksi-aksi protes terhadap kebijakan pemerintah di masa
kini pun juga banyak melibatkan pemuda, maka sosok pemuda tidak boleh
dipandang sebelah mata.
Lantas bagaimana
peran pemuda di desa-desa yang berada di Wewengkon
Citorek yang terdiri dari lima desa terhadap pertanian? Perkembangan
zaman yang menyebabkan pembangunan disana-sini tak pelak menimbulkan
residu-residu pembangunan berupa masyarakat yang termarjinalkan
secara sosial maupun ekonomi. Para petani yang tadinya memiliki sawah
banyak yang menjualnya karena adanya alih fungsi sawah menjadi
infrastriktur jalan maupun rumah, adanya land
grabbing serta
himpitan ekonomi membuat makin banyak petani yang lahannya makin
sempit bahkan tidak memiliki lahan yang selanjutnya kemiskinan pun
menghinggapi mereka yang banyak bekerja di sektor pertanian.
Eforia sumber
keuangan masyarakat Wewengkon
Citorek makin menjadi-jadi hingga mereka lupa pada pentingnya sawah
dan ladang yang selama ribuan tahun telah terbukti mampu dijadikan
sumber penghidupan bagi masyarakat. Berprofesi sebagai pemuda yang
bertani seolah tidak lagi menjadi kebanggaan, pemuda lebih banyak
memilih segala sesuatu yang dapat dijadikan uang secara instan.
Kebanyakan mereka lebih memilih menjadi penambang tradisional
ketimbang mengurus sawah dan ladang, bahkan banyak diantara mereka
menjual sawah dan ladangnya karena dianggap merepotkan. Mereka
berfikir bahwa, dengan memiliki banyak uang yang didapat dari hasil
tambang tradisional (gurandil) sudah cukup walaupun tidak punya
sawah.
Para pemuda tani pun
enggan untuk terjun ke sawah (jika pun ada jumlahnya minim), hal ini
dikarenakan hasil dari sawah kurang menjanjikan di mata mereka, dan
pertanian hasilnya tidak dapat dinikmati langsung, butuh waktu untuk
menunggu. Belum lagi kondisi desanya yang jauh dari infrastruktur
memadai, pembangunan yang dilakukan tidak mendukung pada peningkatan
ekonomi masyarakat tani, hal ini pun menjadi penyebab mereka enggan
menekuni profesi sebagai petani, bahkan banyak dianataranya hengkang
dari desanya.
Saya pernah
mendengar, seorang sosiolog dari Belanda Ben White dalam kuliah
umumnya pernah berkata bahwa tahun 1970 an di pedalam Indonesaia,
khususnya Jawa Barat, pemuda banyak yang bangga mejadi petani, stiap
hari mengolah sawah dan ladang untuk mengais rejeki sebagai sumber
penghidupan. Hal ini tentu sudah berbeda dengan masa kini, jumlah
sawah di Wewengkon
Citorek yang kiat menyusut dan juga kecenderungan pemuda memilih
profesi sebagai penambang tradisional (gurandil) dan menganggap sawah
dan ladang tak lagi penting di mata mereka. Jika kita bijak, maka
sebaiknya profesi bertani harus kita pertahankan sebagai sumber utama
dan mencari rejeki selain dari tani kita jalankan, semisal menjadi
penambang tradisional (gurandil). Mungkin diantara sekian pemuda
masih tetap ada yang melakukan keduanya, yakni ketika selesai
melakukan pekerjaan di asawah dana ladang mereka menyempatkan diri
untuk mengais rejeki ditambang tradisional menjadi “kuli” atau
yang biasa disebut “pamahat” . saya mengkhawatirkan jika
pertanian ditinggalkan pemuda, yang ada adalah para orang-orang tua
yang masih setia mengayunkan cangkul di lahannya sembari menunggu
“pensiun” tiba. Tentu hal ini merupakan persoalan sosial, jika
tidak ada pemuda yang terjun ke sawah, lantas siapa yang akan menjadi
generasi penerus dari petani-petani tua tersebut?
Salah satu hal yang
sederhana yang perlu dilakukan adalah menanamkan pada diri anak-anak
kecil yang kelak jadi pemuda untuk mencintai dan menggeluti dunia
pertanian. Sangat jarang ditemui orang tua yang menginginkan anaknya
jadi petani, sehingga dari kecil hingga pendidikan tinggi bahkan
mencari pekerjaan pun “didikte” orang tua untuk menjadi yang
lebih dari sekedar petani, termasuk bagi orang tua yang petani
sekalipun. Lulusan SD seolah tak perlu masuk SMP yang penting bisa
menjadi “pamahat” lulusan SMP pun sama halnya, termasuk lulusan
SMA. Bahkan yang melanjutkan sekolah, minat di pertanian masih kalah
banyak dibandingkan dengan minat ke program studi yang lainnya.
Sekolah-sekolah kejuruan dengan basis pertanian pun juga sepi
peminat. Hal ini sungguh ironis mengingat sejak kecil di SD
ditanamkan bahwa Indonesia adalah negara agraris. Sudah seharusnya
hal ini menjadi masalah kita bersama sebagai masyarakat Wewengkon
Citorek
agar sektor pertanian khususnya petani menjadi profesi yang
mensejahterakan, kebanggaan, keahlian dan tak kalah gengsi.
Kegiatan land
reform
oleh pemerintah perlu dikembangkan, agar petani-petani yang tadinya
tidak punya lahan menjadi punya lahan. Insentif berupa keringan pajak
bagi tanah sawah perlu dilakukan, beasiswa-beasiswa bagi pemuda yang
minat ke pertanian dan bekerja di pertanian perlu digalakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar