Tugas Individu Calon Guru Penggerak
PGP Angkatan 2 Kabupaten Lebak - Mulyadi
Sugiansar, S.Pd. – 1.4 Aksi Nyata
1. Latar Belakang
Kesadaran akan penerapan disiplin masih berdasarkan
motivasi ekstrinsik, dimana pembiasaan positif yang diterapkan bukan disiplin
positif, namun masih menganut reward dan punishment. Komunikasi yang dibangun
masih satu arah, peran atau kontrol guru belum sampai pada tahap manajer
melainkan sebagai hakim bagi murid. Bagaimana mendisiplinkan peserta didik
bermula dari kesadaran, dan menumbuhkan motivasi intrinsik. Bagiamana disiplin
dan budaya poisitif yang sudah ada dan menonjol dapat tumbuh dan berkembang
menjadi karakter semua warga sekolah. Bagaimana Budaya positif di sekolah yang
harus dikembangkan guru untuk mewujudkan karakter atau profil pelajar
Pancasila. Serta bagaimana efektifitas komunikasi dua arah yang diciptakan
dapat membantu menumbuhkan kesadaran murid agar menjadi pribadi yang berempati
dan berbudaya disiplin positif
2. Deskripsi Aksi Nyata
Dalam menciptakan budaya ajar yang baik, budaya
positif di sekolah tidak berdiri sendiri. Karena dibutuhkan sinergitas antar
semua pemangku kepentingan di sekolah dalam pembiasaan-pembiasaan positif yang
diterapkan. Pembiasaan positif yang akan membudaya dan berakar. Sehingga budaya
tersebut dapat menjadi suatu kekuatan unuk menerapkan disiplin positif sekolah.
Mengapa harus disiplin positif, karena semua aturan-aturan yang diterapkan
ditujukan untuk melahirkan mental-mental disiplin yang berdasarkan kesadaran
individunya. Budaya positif lahir karena semua pemangku kepentingan sadar akan
pentingnya taat terhadap sebuah aturan. Taat bukan karena ada konsekuensi
dibalik semua itu, tapi pembiasaan bermula dari dalam diri. Mulai dari diri
yang merupakan ciri dari motivasi intrinsik dimana karakter disiplin yang kuat
akan terbentuk.
Penerapan budaya positif seperti religius, disiplin
dan toleransi antar sesama dikaitkan dengan nilai-nilai pofil pelajar Pancasila
yaitu: Beriman dan bertakwa pada Tuhan YME, kemandirian, bernalar kritis,
kreatif, bersifat kebhinekaan dan bergotong royong. Dimana nilai-nilai itu akan
menjadi dasar pembiasaan positif. Ketika pembiasaan yang dimaksud menjadi
karakter maka akan mudah mencetak generasi pelajar Pancasila yang berempati dan
kritis yang memiliki daya saing global dengan kreatifitas tanpa batas namun
tetap mengusung kebhinekaan dan gotong royong sesama.
Dalam terwujudnya Visi sekolah pada modul dan aksi
nyata sebelumnya, erat kaitannya bagaimana seluruh pemangku kepentingan dalam
hal ini seluruh warga sekolah bersinergi saling menguatkan dan menumbuhkan
karakter positif melalui pembiasaan-pembiasaan positif. Jika pembiasaan sudah
menjadi membudaya, dan menjadi karakter individunya dalam sebuah institusi
sekolah maka akan dengan mudahnya visi sekolah diciptakan. Begitu juga materi
pada modul sebelumnya dimana nilai-nilai dan peran guru yaitu pembelajaran
berpusat pada murid, dengan kolaborasi, refleksi, guru akan mudah berinovasi
dan kemandirian belajar menjadi sebuah keniscayaan jika karakter guru nya kuat.
Mengapa harus berpusat pada murid, karena sesuai dengan refleksi filosofi
pemikiran Pendidikan Ki Hajar Dewantara bahwa pembelajaran dengan sistem among.
Guru sebagai fasilitator di depan menjadi contoh, ditengah sebagai penyemangat
dan di belakang menjadi pendorong demi majunya sebuah Pendidikan yang bermula
dan berpusat pada kebutuhan murid.
Peran guru penggerak dalam menularkan kebiasaan baik
kepada guru lain dan peserta didik dalam membangun budaya positif yaitu dengan
menguatkan apa yang sudah menjadi budaya dan iklim baik di sekolah. Memunculkan
kekuatan, dan menyamarkan yang hal-hal yang bersifat stagnan. Sehingga yang
diharapkan semua bergerak untuk menuju perubahan yang signifikan. Dengan
berkolaborasi membentuk karakter baik dan menerapkan disiplin positif yang akan
menjadi budaya sekolah. Dengan memulainya dari kelas, mulai dengan murid yang
diajar, mulai dengan mata pelajaran yang diampu.
Bagaimana menumbuhkan budaya positif di kelas,
sehingga menjadi budaya positif di sekolah dan menjadi visi sekolah?. Kelas
adalah miniatur dari sekolah, dan sekolah adalah miniatur dari bangsa. Bangsa
yang berbudi pekerti baik serta berdisiplin positif bermula dari bangku-bangku
di sekolah. Sehingga bagaimana menumbuhkan budaya positif adalah bermula dari
kegiatan belajar mengajar di kelas dan upaya guru berinteraksi dengan murid.
Bagaimana menyentuh individu-individu agar berkarakter
positif, bisa diawali dengan menciptakan iklim komunikasi dua arah. Membangun
komunikasi dua arah, adalah cara efektif mengetahui harapan-harapan dari
seorang murid terhadap proses pembelajaran yang dia peroleh dan impikan.
Pentingnya mengetahui harapan dan impian murid adalah salah satu Tindakan
reflektif dalam proses pembelajaran serta penerapan nilai dan peran guru.
Komunikasi dua arah juga memberikan kesempatan murid
bertanya, dengan pembiasaan bertanya disinilah awal mula karakter bernalar
kritis akan terbentuk. Komunikasi dua arah juga akan menimbulkan percaya diri
pada murid karena merasa dihargai dan didengarkan. Ketika murid memiliki
aspirasi dan dapat mengeluarkan pendapatnya itu merupakan suatu apresiasi luar
biasa bagi sebuah interaksi guru dan murid. Membangun kercayaan diri murid
adalah sangat penting karena dengan kepercayaan diri akan muncul empati. Ketika
empati dan karakter lain seperti bernalar kritis muncul sebagai akibat dari
sebuah interaksi disitulah akan muncul kreatifitas dan inovasi-inovasi murid.
Sehingga karakter dan budaya positif akan dengan sendirinya muncul berawal dari
pembiasaan positif di kelas.
Strategi yang dapat dilakukan untuk menerapkan budaya
positif di sekolah dengan memanfaatkan sumber yang dimiliki, diantaranya
mengaktifkan kegiatan literasi sekolah, sehingga akan berpengaruh pada pola dan
kebiasaan dalam belajar. Menerapkan dan membiasakan komunikasi dua arah pada
seluruh warga sekolah. Dampak yang ingin dilihat adalah kesadaran berdisiplin
positif dan membangun budaya positif dimanapun murid berada. Berawal dari peran
guru membudayakan disiplin positif dengan mengubah paradigma disiplin menjadi
disiplin positif.
Budaya positif yang sudah ada di sekolah kami selain 5
S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan dan Santun) plus Ikhlas, juga motto SEMI
(Semangat dan Ikhlas) yang menguatkan untuk selalu bersinergi, berkolaborasi
dan religius. Dimana program-program di semua lini dapat dijalankan serta
terintegrasi dan membentuk kebiasaan positif.
Linimasa tindakan yang akan dilakukan
1. Sosialisasi Budaya positif kepada semua pemangku kepentingan di sekolah
2. Membiasakan komunikasi dua arah antar pemangku kepentingan dalam rangka
membangun budaya positif di kelas dan di sekolah
3. Memfasilitasi kesepakatan kelas dan kesepakatan aturan sekolah
4. Merefleksi kegiatan dalam rangka membudayakan kebiasaan positif di sekolah
Aksi nyata kali ini dalam rangka menumbuhkembangkan
budaya positif yang sudah ada disekolah. Mengajak semua pemangku kepentingan
untuk senantiasa melestarikan dan menjaga hal-hal baik dan positif agar terus
mengakar dan menyeluruh ke semua warga sekolah. Terutama mengimbaskan di
kalangan murid atau peserta didik dengan motivasi dan dukungan guru pengampu
mata pelajaran. Serta bimbingan walli kelas dalam apresiasi budaya positif
dalam dan antar anggota kelas.
Untuk menerapkan pembiasaan budaya positif diperlukan
komunikasi dua arah antar pemangku kepentingan, karena konsekuensi bersama
terhadap sebuah aturan dalam rangka penerapan disiplin positif tidak akan
berhasil tanpa kesadaran penuh dari masing-masing individu. Untuk itu
diperlukan kesepakatan bersama di dalam kelas jika lingkupnya guru mata pelajaran
dalam satu kelas. Jika kesepakatan dalam satu sekolah, berlaku untuk semua
pemangku kepentingan di sekolah.
Kontrak belajar, begitu kami biasanya menyebut
kesepakatan kelas. Biasanya kami menyepakati kontrak belajar setiap awal
pertemua perdana, yaitu awal tahun pelajaran. Berbeda dengan tahun ini, dimana
kondisi pandemik memaksa kami untuk belajar dari rumah dalam jaringan. Maka
kesepakatan kelas kami evaluasi di akhir pembelajaran, dan meninjau ulang
bagaimana kesepakatan kelas kami susun Kembali.
Langkah pertama dalam menyusun kesepakatan kelas yaitu
memberikan pertanyaan pemantik, dimana dalam pertanyaan itu akan muncul
harapan-harapan yang diimpikan peserta didik dalam proses pembelajaran. Karena
masih dalam masa pandemik, pertanyaan diberikan hanya kepada siswa yang menjadi
Pengurus OSIS dan LPK (lembaga perwakilan Kelas) yang disampaikan secara tatap
muka dalam waktu yang telah disepakati bersama untuk berkumpul di sekolah.
Setelah semuanya memyampaikan keinginan dan harapannya, maka semua harapan direkap
tanggapannya, dikelompokkan berdasarkan jenis jawaban, kemudian di tulis dalam
papan tulis dan hasilnya disampaikan pada semua peserta didik melalui Pengurus
OSISI dan LPK masing-masing.
Hasil tanggapan itu yang akan direspon kembali oleh
peserta didik yang akan menjadi draft kesepakatan kelas. Peserta didik
merespon, guru sebagai kontrol kelas mengarahkan bagaimana agar
keinginan-keinginan yang mereka tuangkan dalam kesepaktan kelas. Tentunya
dengan bekerja sama menentukan kesepakatan kelas, agar memudahkan semua yang
terlibat dalam pelaksanaannya.
3. Hasil dari Aksi Nyata
Feedback dari siswa dan semua pemangku kepentingan di
sekolah, kepala sekolah, guru, peserta didik, orangtua, komite dan semua tenaga
kependidikan, serta semua warga di lingkungan sekitar sekolah. Tantangan dalam
menerapkan budaya positif, adalah menghadapi murid yang notabene nya di usia
remaja, pra dewasa. Yaitu di jenjang SMP dimana karakter sudah banyak terbentuk
dan terpoles berdasarkan pengalaman belajar mereka di jenjang sebelumnya,
Sehingga keberagaman karakter di jenjang SMP sangat kentara, bergantung dari
latar belakang keluarga, background sekolah sebelumnya, dan bahkan pengaruh sosial
lingkungan masyarakat disekitarnya. Karena pada jenjang SMP sangat dimungkinkan
peserta didik datang dari segala penjuru domisili.
Heterogenitas pada peserta didik tersebut yang
menjadikan karakter dan pembiasaan positif yang beragam untuk kemudian di blended membentuk
kebiasaan positif sekolah dengan tetap menonjolkan hal-hal positif yang sudah
ada.
Respon peserta didik tentu saja merasa senang dan
apresiatif, mereka bersemangat melakukan perubahan aturan-aturan kelas.
Bersemangat untuk menyepakati draft kesepakatan karena motivasi intrinsik untuk
menjadi lebih baik. Tantangannya adalah ketika ada suara-suara sumbang yang
enggan memberikan suara, dan tidak mengisi formulir atau angketnya. Ada juga
yang tidak memberikan respon tanggapan meski terhadap respon antar teman.
Barangkali yang tidak memberikan suaranya masih bingung, tapi ada yang hanya
merespon tanggapan temannya saja. Tantangannya lagi adalah mengontrol kelas
agar kondusif fokus dalam kegiatan positif di satu sisi mendengar hal-hal lain
dari peserta didik yang kesemuanya harus disaring Kembali.
4. Pembelajaran yang didapat dari pelaksanaan
Proses kegiatan aksi nyata ini belum seratus persen
terlaksana sesuai dengan rancangan karena terbentur dengan agenda dan kelender
Pendidikan dimana pada masa bulan target pelaksanaan aksi nyata adalah diwaktu
libur.
Jika budaya positif terlaksana dengan baik, hal baik yang akan muncul
adalah ditandai dengan kebiasaan komunikasi dua arah antar semua pemangku
kepentingan. Rencana yang awalnya sekolah akan mulai dibuka, ternyata sekolah
masih harus menggunakan sistem Tatap Muka Terbatas (TMT) karena masih adanya
pandemik covid -19 masih tinggi. Sehingga rencana tindakan aksi nyata tidak
sesuai seratus persen dengan rancangan dan fakta yg dihadapi. Jadi proses
sosialisasi dan pemberian feedback serta pembiasaan positif dilakukan dengan
keterbatasan melalui efektifitas pengurus OSIS. Walau sharing dan kolaborasi
tidak bisa terlaksana dengan baik hanya mendapatkan feedback berupa keinginan
buan dari tiap kelas tetapi melalui OSISI dan Lembaga Perwakilan Kelas, aksi
nyata ini sedikit banyaknya mendapatkan masukan dari guru-guru yang memberikan
aspirasi nya melalui komunikasi yang disebar melalui WAG.
5. Rencana Perbaikan untuk pelaksanaan di masa mendatang
Rancangan aksi nyata ini akan diteruskan untuk
menyambut tahun ajaran baru, kolaborasi membuat kesepakatan kelas yang berpusat
pada murid dengan beberapa konten atau isi berisi aspirasi peserta didik.
Tahapan refleksi akhir semester akan dijadikan acuan pelaksanaan pembelajaran
di semester berikutnya. Dengan mengagendakan kegiatan sharing dan kolaborasi
Bersama antar guru mata pelajaran, walaupun dalam WAG.
Mengagendakan untuk mensosialisasikan budaya positif kepada semua pemangku
kepentingan. Mengimbaskan disiplin positif pada peserta didik, dan membiasakan
selalu komunikasi dua arah dengan peserta didik. Pembiasaan meminta aspirasi
dari peserta didik. Dan membiasakan memberi apresiasi terhadap kemajuan dan
perkembangan peserta didik atas pencapaiannya membudayakan budaya positif.
Perubahan yang akan dilakukan, mulai dari diri sendiri membudayakan 5 S,
dan menerapkan kedisiplinan dengan cara berkomunikasi dengan siswa secara dua
arah. Menerima dan memberikan aspirasi murid merdeka dalam menentukan daftar
kesepakatan belajar bersama. Dengan kontrol guru, semua menyepakati poin-poin
kesepakatan dan di tandatangani oleh masing-masing. Melakukan refleksi bersama
atas kesepakatan yang diberlakukan. Perubahan yang diharapkan akan dirasakan,
mampu berempati kepada siswa, karena lebih banyak mendengar daripada
menginstruksikan, lebih banyak menerima aspirasi ketimbang arahan-arahan yang
tidak efektif.
6. Dokumentasi
Proses dan hasil pelaksanaan berupa foto-foto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar