“Kadang miris
juga secara pendidikan formal lebih tinggi, tapi bisa diperdaya dan percaya
penuh pada sang tokoh yang telah redup kejayaanya... orang ini padahal tak
pernah diuntungkan juga baik materi maupun posisi…” Kata seorang anak muda menjelaskan.
1.
Memberi
Tanpa Mengingat-ingat, Menerima Tanpa
Melupakan
Kalimat bernada
setengah sinis seperti di atas, rasanya cukup akrab terdengar di sekitar kita.
Kata kata seperti itu menandakan bahwa kita hidup di dunia yang serba penuh
perhitungan. Apapun dihitung untung ruginya. Bukankah hidup ini lebih enteng
rasanya kalau kita tidak harus menghitung dan mencatat segalanya?
Pengalaman hidup saya
sendiri membuktikan bahwa hanya dalam memberi saya menerima. Artinya ketika
saya memberi dengan tulus dan ikhlas, apakah itu materi, waktu, perhatian,
maupun turut mendoakan, bahka kepercayaan, maka saya menerima kebahagiaan yang
luar biasa dan tak terukur dengan uang, karena saya tahu bahwa balasan manusia
itu terbatas dan mungkin mengecewakan. Tapi ketika Allah SW., memberi, maka itu selalu dalam kelimpahan.
Dunia memang sudah
mulai asing dengan ketulusan dan keikhlasan. Dalam kepintarannya manusia
melakukan berbagai hal untuk senantiasa mendapatkan keuntungan yang lebih. Saya
tidak mengatakan bahwa kita tidak boleh untung. Kita memang harus untung, tapi
keuntungan yang seperti apa? Keuntungan yang saya maksudkan adalah keuntungan
yang membawa dampak baik bagi banyak orang, dan bukan semata mata berfokus pada
diri sendiri. Terlebih hanya pada keuntungan baik materi maupun posisi
sebagaimana anggapan seoarang anak muda di atas.
Mengapa kita harus iri
dan takut melihat orang lain sukses atau diuntungkan? Rasa iri dan cemburu atas
kesuksesan orang lain hanya akan menutupi jalan hidup kita sendiri, karena
fokus kita ada pada kelebihan orang lain, bukannya bersyukur atas segala
karunia yang sudah berikan Alloh SWT., bagi kita. Energi dan konsentrasi kita terbuang percuma
pada kehebatan orang lain, dan kita malah lupa melangkah maju.
Dengan memberi, kita
menyatakan secara tidak langsung rasa syukur kepada Alloh SWT., karena kita
masih diberikan kesempatan berbuat baik. Hanya orang hidup yang bisa memberi
bukan? Memberi juga adalah tindakan yang nyata, bahwa kita tidak takut
kekurangan. Kita percaya bahwa kebaikan Alloh SWT., itu akan selalu mencukupi.
Bagi saya, inilah ciri seseorang yang terdidik.
Memberi mungkin bukan sesuatu yang sulit,
bagian tersulitnya adalah tidak mengingat-ingat apa yang sudah kita berikan.
Ada satu perasaan ringan dan kelegaan yang luar biasa ketika kita bisa
melakukan hal ini. Artinya kita melepaskan diri dari ikatan bergantung dan
menanti balasan kembali dari si penerima. Itu sebabnya manusia banyak hidup
dalam kekecewaan karena terlalu tekun mengingat dan mengharapkan kembali apa
yang sudah diberikan.
Ketika kita diberi
kesempatan untuk menolong, membantu, bahkan untuk mempercayai atau memberi
kepada orang lain, berikanlah dengan penuh ketulusan. Tidak ada alasan bagi
kita untuk menambah penuh kapasitas memori otak kita, karena sesunguhnya Alloh
SWT., tidak pernah lupa. Percayalah, alam ini selalu mengalir dalam
keseimbangan. Alloh SWT., bisa mencukupkan kita tanpa memiskinkan orang lain.
Kita bisa memberi tanpa harus takut menjadi miskin. Kita percaya kepada orang
lain tanpa harus takut dibohongi.
Membantulah, memberilah
dan percayalah pada mereka yang membutuhkan tenaga kita, pemikiran kita, dan
ilmu pengalaman yang pernah kita dapat selama mengeyam pendidikan, layanilah
mereka dengan bijaksana tanpa melihat strata sosial dan pendidikan. Sisi yang lain dari memberi adalah menerima.
Banyak orang mungkin berpikir bahwa menerima itu enak. Kita berada di posisi
yang diuntungkan. Justru bagi saya, menerima sesuatu dari orang lain selalu
menjadi beban tersendiri, karena saya tidak bisa melupakan kebaikan orang lain
dalam hidup saya. Orang tua saya menjadi contoh yang sangat baik dalam mendidik
dan mengajarkan untuk tidak pernah melupakan budi baik orang lain.
Apa jadinya dunia ini
kalau semua orang hanya mau menerima tanpa membalas? Mungkin kita tidak
diberikan kesempatan setara atau secara langsug membalas kepada si pemberi,
tapi latihlah diri kita untuk mengingat kebaikan yang sudah kita terima, dan
disiplinkan diri kita untuk berbuat hal yang sama kepada orang lain ketika kita
diberikan kesempatan. Hanya dengan cara itu kebaikan bisa menjadi bola salju
yang bergulir tanpa henti, dan kita dapat hidup di dunia yang dapat mewartakan
indahnya kebaikan hati.
Ketika kita memberi
tanpa mengingat-ingat untuk dibalas, kita dapat hidup dalam ketentraman hati
yang tenang, ikhlas dan lega. Ketika kita menerima tanpa melupakan, maka kita
menjadi penerus kebaikan yang konsisten mendatangkan lebih banyak kebaikan
dimana saja kita berada
2.
Hak dan
Tanggung Jawab Kita sebagai Manusia adalah untuk Menyeimbangkan Hak dan
Tanggung Jawab Itu Sendiri
Sebelum
mengutarakan pendapat saya,, saya akan menyinggung terlebih dahulu definisi
dari "individualisme" berdasarkan BKKBI (2007: 189) bahwa
individualisme menjadi sebuah paham atau ideologi yang cenderung dianut oleh
kita, sebagai manusia biasa apabila dilihat dari sudut secara
perorangan/pribadi. Jadi yang dimaksud "individualisme" bukanlah
suatu sosok, melainkan lebih tertuju pada suatu watak yang memiliki
kecenderungan untuk memprioritaskan kepentingan pribadi dibandingkan
kepentingan khalayak banyak.
Saya
rasa individualisme sendiri juga menjadi hak dan juga kewajiban dalam hidup
seseorang. Dimana seorang manusia memiliki hak untuk memiliki suatu privasi,
kepentingan diri, serta ia juga berhak melakukan tindakan-tindakan yang
mendukung kepentingan dirinya. Selain itu jugalah menjadi tanggung jawab bagi
seorang manusia untuk mempertanggungjawabkan jiwa, raga, dan seluruh anugerah
yang ia miliki kepada Alloh SWT., sebagai wujud syukurnya.
Manusia
hidup sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk individualis, sehingga dalam
tiap jiwa manusia pasti akan ada rasa individualisme dan sosialisme pula,
dimana hak dan tanggung jawab kitalah untuk menjaga dan terlebih untuk
menyeimbangkan keduanya sebagai suatu ciri khas karakter kita sebagai manusia
yang menjadi ciptaan Alloh SWT.
Bila
ada yang bertanya " Apa sih yang anda cari di dunia ini?" atau
apabila anda dihadapkan pada pertanyaan "Untuk apa sih kita ini hidup di
dunia?"... Sebagian mungkin akan menjawab bahwa manusia hidup untuk
mencari kebahagiaan, atau untuk menemukan rahasia hidup itu sendiri... Mungkin
mereka tidak bisa dibilang salah... Karena pertanyaan itu merujuk pada
pendapat,, dimana pendapat tidak menjadi suatu yang bisa dinilai kebenaran atau
kesalahannya... Kebebasan berpendapat pun telah diakui oleh seluruh ahli, dan
dari sanalah pikiran" besar muncul.
Atau
bahkan adanya pertanyaan yang muncul cukup sinis "Apa artinya pendidikan formal
lebih tinggi, tapi bisa diperdaya dan percaya penuh pada sang tokoh yang telah
redup kejayaanya... orang ini padahal tak pernah diuntungkan juga baik materi
maupun posisi…??”
Dan
bilamana pertanyaan itu datang menghampiri saya,, maka saya akan menjawab bahwa
kita hidup untuk diri kita sendiri, orang lain, dan Alloh SWT., yang mencinptakan
kita. Hal ini mewakili pendapat saya bahwa manusia pada dasarnya hidup untuk
menerima, memberi, dan mengembalikan semuanya kepada Alloh SWT.
Intinya adalah bahwa
hak dan tanggung jawab menjadi sesuatu yang tidak dapat dipilih... karena hak
dan tanggung jawab berjalan seiringan dengan perbandingan setara dimana
seberapa banyak yang kita dapatkan, sedemikian jugalah yang harus kita
persembahkan kepada orang lain, dimana saya tekankan di sini bahwa kata
"banyak" bukan merujuk pada materi yang dapat dihitung,, melainkan
lebih pada perbuatan dan tindakan yang nyata dan tulus.
Mengenai perusakan diri
dan kepentingan umum, apa yang dapat saya katakan adalah bahwa seorang manusia
dengan individualisme yang berlebihan tanpa rasa sosialisme menjadi benalu bagi
orang lain... Individualisme yang berlebihan akan berkembang menjadi sifat
egois dan mulai serakah... Karena ketika seseorang melupakan orang lain, ia
mulai melupakan Alloh SWT.
Menyinggung soal “posisi”
dan menguntungkan, menurut saya perspektif yang diambil sudah tepat... Karena
pada dasarnya “posisi” dan menguntungkan adalah relatifitas yang tidak
terhingga... Tiap karakter memiliki perspektif yang berbeda-beda. Sistem yang berlaku dalam masyarakatlah yang
kini menjadi landasan penentu apakah jalan yang saya pilih itu adalah baik atau
bukan.
Lalu
apakah definisi dari menguntungkan? Apakah keuntungan yang dimaksud selalu
berupa materi? Bila ia, maka pendapat itu dapat dibenarkan bagi seorang
individualis. Namun apabila tidak, saya rasa masih banyak "bentuk"
lain dari suatu hal yang dianggap menguntungkan...
Menguntungkan
tidak sama dengan menerima secara konkrit. Contoh ekstrimnya, apabila seorang
kaya dermawan menyumbang pada panti asuhan dan ia merasa bahagia akan hal itu.
Siapa di sini yang diuntungkan?? Atau bahkan apabila seseorang yang berpendidikan
tinggi, tapi bisa diperdaya dan percaya penuh pada sang tokoh yang telah redup
kejayaanya... padahal tak pernah diuntungkan juga baik materi maupun posisi,
siapa di sini yang diuntungkan?? Keterkaitan
antara memberi, menerima dengan keuntungan dan kerugian, maupun baik buruknya
sesuatu tak dapat diukur dengan keidentikan pandangan sesederhana itu...
Hak
dan Tanggung Jawab kita sebagai manusia adalah untuk menyeimbangkan hak dan
tanggung jawab kita itu sendiri. Semoga anak
muda yang mengatakan “Kadang miris juga
secara pendidikan formal lebih tinggi, tapi bisa diperdaya dan percaya penuh
pada sang tokoh yang telah redup kejayaanya... orang ini padahal tak pernah
diuntungkan juga baik materi maupun posisi…” dapat lebih bijak meberikan penilaian terhadap
orang lain. Mampu memandang secara objektiv terhadap orang lain, terutama
dirinya sendiri.
Semoga Alloh
SWT., mengampuni kita semua. Amiin …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar